REPUBLIKA.CO.ID, KINSHASA -- Wabah ebola yang terjadi di Republik Demokratik Kongo membuat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyerukan peringatan global. Menurut WHO, epidemi tersebut merupakan masalah darurat kesehatan internasional.
"Ini adalah langkah yang mengakui kemungkinan peningkatan risiko nasional dan regional. Perlu tindakan intensif dan terkoordinasi untuk mengelolanya," kata WHO dalam sebuah unggahan di Twitter pada Rabu (17/7).
Ebola sangat menular dan menyebar melalui cairan tubuh. Sejak muncul di wilayah timur Kongo pada Agustus 2018, wabah di negara tersebut telah menewaskan 1.676 orang atau lebih dari dua pertiga yang mengidapnya.
Pekan lalu, kemunculan kasus baru dari penyakit ini muncul di negara tetangga Kongo, Uganda. Kejadian itu semakin memicu kekhawatiran bahwa virus mungkin menyebar di luar perbatasan Kongo.
Insiden itu merupakan wabah ke-10 dan terburuk kedua dalam sejarah. Meski begitu, WHO yang berada di bawah naungan PBB menegaskan tidak perlu ada negara yang harus menutup perbatasan atau membatasi perjalanan dan perdagangan.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, sudah waktunya dunia internasional peduli dan memperhatikan epidemi. Dia menyerukan agar semua pihak menggandakan upaya untuk melawan wabah ebola.
Deklarasi darurat kesehatan internasional hampir selalu meningkatkan perhatian global dan mengarah pada peningkatan bantuan. Di sisi lain, hal itu juga meningkatkan risiko pemerintah untuk menutup perbatasan.
Sejak 2007, sudah empat kali WHO mendeklarasikan darurat kesehatan global. Sederet penyakit yang pernah mewabah antara lain pandemik flu, polio, ebola, serta virus zika yang pada 2016 menyebabkan serentetan cacat lahir di Amerika Latin.
Para ahli kesehatan menyambut baik deklarasi darurat kesehatan ebola pada Rabu. Akan tetapi, mereka mendesak WHO segera fokus pada menggalakkan bantuan internasional dan mengubah buku pedoman di lapangan saat bertindak mengakhiri epidemi.
"Hal itu memungkinkan kita menghindari penderitaan dan kematian yang tidak perlu tahun depan, atau mungkin lebih lama," kata Lawrence Gostin, direktur fakultas O'Neill Institute for National & Global Health Law, dikutip dari laman Aljazirah.