REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) John Hutagaol mengatakan, dunia internasional saat ini sedang menyusun dan memformulasikan norma serta standar perpajakan global atas transaksi ekonomi digital. Saat ini, John menyebutkan, sudah ada 129 yurisdiksi yang tergabung dalam The Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).
John mengatakan, direncanakan, pada akhir 2020, standar global tersebut dapat diselesaikan. Hasilnya akan disampaikan dalam sidang pertemuan The Inclusive Framework on BEPS untuk disahkan sebagai konsensus global. "Indonesia akan terus memantau perkembangannya," ucap John saat dihubungi Republika, Rabu (17/7).
John menyampaikan, hasil konsensus global tersebut akan dilaporkan pada pertemuan pimpinan G20. Tujuannya adalah untuk mendapatkan dukungan politik. John menyebutkan, 129 yurisdiksi tersebut sangat pragmatis menyikapi dinamika dalam lanskap perpajakan global yang sudah mengalami transformasi.
Oleh karena itu, mereka menganjurkan anggotanya untuk memungut pajak tidak langsung atas transaksi ekonomi digital. Anjuran ini disesuaikan dengan ketentuan domestik masing-masing negara karena lebih mudah diterapkan dibanding memajaki penghasilannya.
"Mungkin yang perlu disempurnakan ketentuan dan teknis pemungutannya karena beda karakteristiknya dengan transaksi tradisional," katanya.
The Inclusive Framework on BEPS juga tidak melarang bila ada anggotanya yang menerapkan pemungutan pajak atas penghasilan berdasarkan kebijakan inisiatif masing-masing. Dia mencontohkan, Inggris dan Australia berinisiatif menerapkan Diverted Profit Tax.
Namun, bila konsensus global tercapai, kebijakan inisiatif tersebut harus dicabut dan disesuaikan dengan konsensus tersebut. John mengatakan, Indonesia akan berada dalam posisi mengikuti keputusan yang ada nanti.
John mengatakan, pemerintah Indonesia terus merespons perkembangan digital dan memasukannya dalam agenda besar reformasi perpajakan. Reformasi tersebut sudah dimulai sejak berakhirnya periode amnesti pajak atau dua tahun lalu.
John menjelaskan, aspek pemajakan atas transaksi ekonomi digital merupakan tantangan global yang dihadapi otoritas pajak dunia. Baik itu dalam sektor niaga daring, usaha rintisan, over the top, gig and sharing economy, dan teknologi finansial. "Termasuk juga Bitcoin hingga virtual currency," ujarnya.
Tantangan tersebut muncul seiring dengan perkembangan teknologi dan digitalisasi dalam berbagai sektor di bidang ekonomi. John menyebutkan, tantangan ini tidak hanya menjadi isu negara berkembang, seperti Indonesia dan Thailand, tapi juga negara maju, seperti Prancis, Australia, Jepang, hingga Amerika Serikat.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Robert Pakpahan mengakui penerapan pajak digital memiliki sejumlah tantangan. Dia mengibaratkan, penerapan pajak digital layaknya dua sisi mata uang atau tak bisa dipisahkan. "Ini mengenai bagaimana regulasi itu adil, kompetitif, hingga memberikan kepastian hukum," kata Robert.
Selain itu, penyusunan regulasi juga harus memudahkan untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Hal tersebut juga menurutnya harus didukung dengan memiliki sistem regulasi yang baik. n adinda pryanka/rahayu subekti, ed: ahmad fikri noor