REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Neraca perdagangan Indonesia sudah mulai surplus per juni 2019. Namun, ekspor Indonesia harus terus di tingkatkan dengan melihat peluang dari perang dagang antara Amerika Serikat dengan China.
Staf Khusus Presiden bidang ekonomi, Ahmad Erani Yustika mengatakan, Presiden Jokowi selalu menekankan agar ekspor terus ditingkatkan. Ini utamanya ekspor ke China yang memiliki pasar yang besar.
"Presiden ingin kinerja perdagangan diperbaiki, baik dengan jalan meningkatkan ekspor ke negara tradisional maupun nontradisional dan mengendalikan impor, salah satunya dengan cara menginisiasi industri substitusi impor," kata Erani kepada wartawan, Rabu (17/7).
Erani melanjutkan, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan sudah memacu ekspor dengan memperluas pasar. Langkah tersebut sedikit banyak sudah membuahkan hasil. Tahun lalu, ekspor Indonesia naik ke negara-negara nontradisional, seperti Bangladesh (15,9 persen), Turki (10,4 persen), Myanmar (17,3 persen), Kanada (9,0 persen), dan Selandia Baru (16,8 persen).
"Tahun ini, pemerintah fokus ke pasar Afrika, dengan menandatangani 12 perjanjian. Tiga di antaranya merupakan target pasar baru (sejak 2018), yakni Mozambik, Tunisia, dan Maroko," katanya.
Selain dengan beberapa negara di Afrika, pemerintah juga memacu perdagangan dengan Iran dan Turki. Kemudian memacu kinerja sektor industri. Peranan produk industri terhadap nilai ekspor semakin meningkat dan mencapai di atas 70 persen pada 2018.
"Agar terus meningkat, Kementerian Perindustrian sebagai anggota Komite Penugasan Khusus Ekspor (KPKE) mendorong dari sisi pembiayaan lewat Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI)," katanya.
Direktur Kerja Sama Pengembangan Eskpor Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kemendag Marolop Nainggolan sebelumnya mengatakan, Indonesia dapat memanfaatkan potensi pasar China yang penduduknya berjumlah 1,4 miliar orang. Untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya tentu pemerintah China tidak dapat mengatasinya sendiri.