REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Antasari Azhar mengusulkan jaksa agung sebaiknya figur mumpuni sebagai jaksa dan sangat memahami persoalan kejaksaan. Karena jaksa agung adalah jabatan profesi.
"Dalam UU Kejaksaan memang tidak menyebut jaksa agung sebagai jabatan karir, karena itu jaksa agung bisa berasal dari dalam dan dari luar Kejaksaan Agung. Namun, jaksa agung sebaiknya adalah figur yang pernah menjadi jaksa dan pernah mengikuti pendidikan jaksa," kata Antasari Azhar, di Jakarta, Jumat (19/7).
Antasari Azhar mengatakan hal itu menjawab pertanyaan pers terkait kriteria figur jaksa agung yang ideal pada pemerintahan Presiden Joko Widodo periode kedua. Menurut Antasari, dalam pasal 9 ayat (2) UU No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menyebutkan, bahwa salah satu kriteria menjadi jaksa adalah harus lulus pendidikan dan pembentukan jaksa.
"Jaksa Agung meskipun tidak disebutkan harus dari jaksa karir, tapi disebutkan pernah menjalani pendidikan pembentukan jaksa. Figur yang lulus dari pendidikan pembentukan jaksa, sehingga memahami kejaksaan. Kalau figur tersebut tidak pernah menjalani pendidikan jaksa, maka memerlukan waktu cukup lama untuk beradaptasi sebagai jaksa agung," katanya.
Karena itu, Antasari mengusulkan, jaksa agung sebaiknya adalah jaksa aktif, jaksa yang telah pensiun, atau jaksa yang sudah pindah ke lembaga lainnya. "Ini sekadar wacana, karena penempatan jaksa agung adalah hak prerogatif presiden," katanya.
Mantan Ketua KPK itu juga menyebutkan, jaksa agung sebaiknya figur yang netral dan independen. Juga tidak terkait dengan kepentingan politik atau kelompok politik tertentu, sehingga penegakan hukum dapat ditegakkan dengan adil.
Menurut dia, kalau ada aspirasi dari lingkungan internal Kejaksaan Agung yang mengharapkan agar jaksa agung mendatang adalah figur yang netral dan independen, harapan itu tidak salah. Sebelumnya, Pengamat Kejaksaan Chairul Imam mengusulkan agar Presiden Joko Widodo memilih jaksa agung dari figur yang kompeten, diutamakan jaksa karir, dan sangat memahami seluk-beluk tata kelola di Kejaksaan Agung.
"Presiden terpilih hendaknya memilih jaksa agung dari figur yang benar-benar independen dan memiliki rekam jejak baik dan bersih, sehingga dalam kerjanya dapat menegakkan supremasi hukum secara tegas dan berkeadilan," kata Chairul Imam.
Menurut mantan Direktur Penyidikan Kejaksan Agung ini, pemilihan jaksa agung hendaknya tidak dipilih seperti menteri kabinet yang akan membuat kebijakan dan keputusan politik. "Jaksa agung hendaknya membuat keputusan hukum, bukan keputusan politik," kata dia.
Pengajar pada Pusat Pendididikan dan Latihan (Pusdiklat) Kejaksaan ini menjelaskan, jaksa agung berbeda dengan menteri kabinet. Menurut dia, jaksa agung bertanggung jawab terhadap teknis dan administratif pada setiap tingkatan kejaksaan."Karena itu, jaksa agung hendaknya figur yang kompeten dan sangat memahami seluk-beluk tata kelola kejaksaan," ujar dia.
Kalau keputusan politik di bidang hukum, kata dia, ada pada Menteri Hukum dan HAM serta pejabat eselon satu di Kementerian Hukum dan HAM. Pada cabang kekuasaan yudikatif, Kejaksaan Agung itu seperti direktorat jenderal tapi lebih luas. Karena itu jaksa agung harus sangat paham seluk-beluk tata kelola Kejaksaan Agung.