REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyebutkan, butuh penyatuan persepsi dengan pemerintah China dalam menangani kasus mail-order brides atau pengantin pesanan. Pemerintah Indonesia memang sedang berupaya memulangkan sejumlah perempuan yang diduga menjadi korban perdagangan manusia berkedok pengantin pesanan tersebut. Sayangnya, perbedaan pandangan otoritas China dalam memandang isu itu membuat proses pemulangan menjadi lama.
"Setelah kita melihat kenapa proses pemulangan yang terkait otoritas Tiongkok ini memakan waktu yang sangat lama, itu terjadi karena adanya perbedaaan melihat isu itu," kata Retno usai menghadiri rapat terbatas di Kantor Presiden, Jumat (19/7).
Dari sudut pandang pemerintah Indonesia, ujar Retno, praktik pernikahan yang dilaporkan para korban menunjukkan indikasi perdagangan manusia. Sejumlah bukti telah dikantongi Menlu, meski ia enggan membeberkan kepada media.
"Pantas ada dugaan bahwa ini melibatkan kegiatan (human) trafficking yang tentunya ilegal. Sekali lagi ini dugaan, perlu pendalaman, tapi sudah ada beberapa bukti yang menguatkan dugaan tersebut," kata Retno.
Sementara dari pihak pemerintah China, ujar Retno, kasus tersebut dianggap sebagai permasalahan rumah tangga yang tidak perlu campur tangan pemerintah kedua negara. Otoritas China menilai bahwa konflik antara istri dan suami yang sah secara hukum tidak perlu sampai melibatkan pemerintah kedua negara.
"Keterlibatan negara karena ini masuk ke wilayah privasi. Tadi pagi saya bertemu dengan dubes Tiongkok intinya adalah kita harus menyamakan persepsi, bahwa ini isu tidak semata isu keluarga tapi pantas untuk dilihat apakah betul dugaan trafficking itu ada," kata Retno.
Kementerian Luar Negeri mencatat, sampai saat ini ada 15 perempuan yang diduga menjadi korban perdagangan manusia. Dari angka itu, delapan perempuan sudah kembali ke Indonesia. Pemerintah masih mengupayakan perempuan lainnya yang belum bisa pulang ke Tanah Air.
"Akan kami push agar prosesnya jadi lebih cepat," katanya.