REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo mengatakan penurunan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 0,25 persen menjadi 5,75 persen pada Juli 2019 ini akan memacu kinerja ekspor Indonesia yang sejak awal tahun berkontribusi terbatas terhadap pertumbuhan ekonomi. Penurunan suku bunga juga diharapkan berdampak pada perbaikan neraca perdagangan untuk menjaga stabilitas eksternal.
"Kami melihat dampaknya terhadap neraca pembayaran, ke ekspor dan impor biaya peminjaman (borrowing cost) dana dari perbankan akan lebih murah," kata Dody di Medan, Sumatera Utara, Jumat (20/7).
Pemangkasan suku bunga acuan yang sebelumnya didahului kebijakan bank sentral untuk melonggarkan, lanjut Dody, ditujukan untuk memperbaiki sisi suplai dan juga menjaga permintaan kredit. Daya intermediasi ekonomi perbankan harus ditingkatkan agar penyaluran modal produktif ke perekonomian tidak terkendala, termasuk untuk kegiatan ekspor. Pasalnya jika ekspor terus dibiarkan melemah, maka dampak dari perlambatan perekonomian global akan semakin berat terhadap Indonesia.
Pertumbuhan ekspor penting untuk menjaga Neraca Perdagangan yang termasuk Neraca Pembayaran Indonesia, agar stabilitas eksternal terjaga. Ekspor juga akan menyalurkan valas ke dalam negeri yang dapat menjadi bantalan untuk untuk menjaga stabilitas nilai tukar mata uang.
"Kita perlu melihat ketegangan hubungan dagang yang berlanjut terus dan menekan volume perdagangan dunia serta memperlambat pertumbuhan ekonomi global," ucap Dody.
Di sisi lain, selain menggenjot ekspor, penurunan suku bunga acuan juga diharapkan tidak memberikan dampak negatif bagi neraca transaksi finansial dan modal. BI perlu menjaga transaksi modal dan finansial untuk tetap surplus karena aliran modal asing yang masuk digunakan untuk mengkompensasi defisit transaksi berjalan.
Maka dari itu, Dody meyakini penurunan suku bunga juga tidak akan memicu arus modal ke luar. Untuk pasar obligasi, Dody melihat selisih suku bunga (differential interest rate) antara Indonesia dengan negara maju dan sepadan (peers) masih cukup lebar, sehingga bunga instrumen keuangan berdenominasi rupiah masih sangat menarik.
"Bank Sentral lainnya di dunia pun mengadaptasi kebijakan moneter yang melunak (dovish) untuk menangkal perlambatan perekonomian global," ujar dia.
Sedangkan untuk pasar saham, Dody memandang investor akan lebih melihat fundamental perekonomian. Investor akan meyakini bahwa penurunan suku bunga acuan memang diperlukan untuk mendorong perekonomian, termasuk untuk mengangkat kinerja para emiten saham.
"Kalau saya tanam ke saham, pasar ekuitas itu akan punya profit yang meningkat. Hal itu terjadi kalau pertumbuhan ekonomi membaik," ujar dia.
Adapun, pemangkasan suku bunga acuan Bank Sentral pada Juli 2019 ini adalah yang pertama kali sejak delapan bulan lalu atau November 2018 ketika suku bunga kebijakan dinaikkan ke level enam persen untuk membendung ke luarnya aliran modal asing pada 2018.
Dengan pemangkasan suku bunga kebijakan tersebut, Bank Sentral juga menurunkan suku bunga penyimpanan dana perbankan di BI (deposit facility) dan bunga penyediaan dana bagi perbankan (lending facility), masing-masing ke lima persen dan 6,5 persen.