REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kabar duka datang dari sastrawan dan wartawan senior Arswendo Atmowiloto. Arswendo meninggal dunia pada Jumat (19/7).
Ia disemayamkan di Rumah Duka Kompleks Kompas B-2, Jalan Damai Petukangan Selatan, Jakarta Selatan. Informasi yang beredar menyebutkan akan dilakukan Misa Requiem di Gereja St Matius Penginjil, Paroki Bintaro, Pondok Aren pada Sabtu (20/7). Mendiang kemudian akan dimakamkan di tempat peristirahatan terakhir Sandiego Hill, Karawang.
Arswendo Atmowiloto lahir di Solo Jawa Tengah pada 26 November 1948 dengan nama asli Sarwendo. Nama Sarwendo kemudian diubah menjadi Arswendo. Kemudian, di belakang nama depann Arswendo ditambahkan nama ayahnya, Atmowiloto.
Mendiang masuk ke Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra IKIP Solo usai lulus dari sekolah menengah atas (SMA). Namun, pendidikan di bangku kuliah tersebut tidak tamat. Meski begitu, ia pernah mengikuti International Writing Program di Universitas Lowa, Lowa City Amerika Serikat pada 1979.
Semasa hidupnya Arswendo terkenal sebagai sastrawan dan wartawan di berbagai surat kabar dan majalah. Di antaranya, menjadi wartawan Kompas dan pemimpin redaksi majalah Hai, Monitor, dan Senang.
Karyanya sebagai sastrawan antara lain berupa naskah drama, cerpen, novel, dan puisi. Di antaranya Sleko (1971), Ito (1973), Lawan Jadi Kawan (1973), Keluarga Cemara 1, Keluarga Cemara 2 (2001), Keluarga Cemara 3 (2001), dan lain sebagainya.
Nama Arswendo semakin dikenal luas setelah mendirikan rumah produksi. Salah satu produksinya yang paling terkenal adalah sinetron Keluarga Cemara.
Kesederhaan Keluarga Cemara di layar kaca mengingatkan penonton Indonesia pada masa itu bahwa harta yang paling berharga adalah keluarga. Satu dekade berselang lebih sejak serial televisinya berhenti tayang, Visinema Pictures mengangkat kisah Keluarga Cemara ke layar lebar. Film yang rilis pada 3 Januari 2019 ini dibintangi oleh Ringgo Aus Rahman, Nirina Zubir, Zara JKT48, Widuri Puteri dan banyak aktris maupun aktor lainnya.
Semasa hidupnya, Arswendo mendapatkan bebera penghargaan. Ia mendapat hadiah Zakse (1972) untuk esainya yang berjudul Buyung Hok dalam Kreativitas Kompromi.
Hadiah Perangsang Minat Menulis dalam Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara DKJ untuk dramanya yang berjudul Penantang Tuhan dan Bayiku yang Pertama juga berhasil didapatkan oleh mendiang. Dua penghargaan lainnya adalah Hadiah Harapan Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara DKJ (1975) untuk dramanya yang berjudul Sang Pangeran dan Sang Penasehat, serta Penghargaan ASEAN Award di Bangkok untuk bukunya yang berjudul Dua Ibu dan Mandoblang.
Hidup Arswendo juga tidak lepas dari kontroversi. Ketika menjabat sebagai pemimpin redaksi tabloid Monitor, mendiang ditahan dan dipenjara karena jajak pendapat Tabloid Monitor memuat hasil survei berkaitan dengan tokoh pembaca. Di sana tertera, Arswendo terpilih menjadi tokoh dengan peringkat 10, sementara Nabi Muhammad SAW berada di nomor 11. Masyarakat Muslim menjadi marah karena polling tersebut.
Mendiang mengaku menyesal pernah melakukan perbuatan yang dinilai melukai umat Islm karena membuat survei kontroversial itu. "Saya menyesal karena saat itu membuat umat Islam terluka," kata Arswendo dalam sidang uji materi UU Penodaan Agama No 1/PNPS/1965 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Rabu 11 Februari 1 Februari 2010.
Arswendo mengemukakan itu ketika Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amidhan, yang hadir dalam persidangan tersebut sebagai pihak terkait, bertanya apakah terdapat rasa penyesalan. Ia dihadirkan oleh pihak pemohon uji materi sebagai salah seorang korban yang pernah dijerat hukum karena terkait dengan pasal-pasal tentang penodaan agama.
Pengumuman Tabloid Monitor pada 15 Oktober 1990 atas hasil survei mengenai siapa tokoh yang paling diidolakan oleh masyarakat Indonesia tersebut dinilai telah melukai hati mayoritas umat Islam Indonesia. Arswendo mengakui, metodologi yang dipakainya kurang kuat karena hanya mengandalkan kepada kartu pos dari para pembaca Monitor sehingga setiap warga dapat mengirimkan pendapat mereka masing-masing.
"Bahkan ada pembaca yang menulis istrinya sendiri sebagai tokoh yang diidolakannya," katanya.
Monitor saat itu, ujar dia, menerima hingga sebanyak 33.963 kartu pos dan terdapat sejumlah 667 nama yang diajukan para pembaca. Hasil dari survei itu adalah menempatkan antara lain Presiden kala itu, Soeharto, di urutan pertama, sedangkan Nabi Muhammad SAW berada di urutan kesebelas.
Hasil tersebut memicu kontroversi dan sejumlah aksi sehingga Arswendo dijerat dengan pasal-pasal KUHP terkait penodaan agama dan divonis dengan hukuman lima tahun penjara. Sedangkan pada saat banding di Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, Arswendo akhirnya dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan penjara.
Ia menegaskan, sama sekali tidak ada niat untuk menodai atau menistakan agama tertentu terkait dengan survei tersebut. Arswendo pada saat itu bahkan telah meminta maaf baik melalui media cetak dan media elektronik dan Monitor juga telah menuliskan permintaan maaf yang memenuhi halaman pertama dari tabloid tersebut.