Sabtu 20 Jul 2019 12:39 WIB

PBB Minta Aset Petinggi Militer Myanmar Dibekukan

Jaksa Mahkamah Pidana Internasional minta izin selidiki kejahatan terhadap Rohingya.

 Anak-anak pengungsi Muslim Rohingya bermain di lokasi pengungsian Kutupalong di Ukhiya, Bangladesh, Kamis (21/12).
Foto: AP/A.M. Ahad
Anak-anak pengungsi Muslim Rohingya bermain di lokasi pengungsian Kutupalong di Ukhiya, Bangladesh, Kamis (21/12).

REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Pelapor khusus PBB Yanghee Lee mengatakan, sanksi yang dijatuhkan Amerika Serikat (AS) terhadap para pemimpin militer Myanmar atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap Rohingya belum memadai. Harus ada sanksi tambahan terhadap mereka.

Lee menilai sanksi larangan bepergian ke AS masih belum cukup kuat. "Mereka tidak akan pernah bepergian ke AS. Mari bersikap realistis," katanya kepada awak media di Kuala Lumpur, Malaysia, Kamis (18/7).

Baca Juga

Dia menyerukan agar AS membekukan aset para petinggi militer yang terlibat dalam pelanggaran HAM terhadap Rohingya. Menurut dia, sanksi demikian lebih memiliki bobot.

"Seharusnya (sanksi) lebih berat dan parameter sanksinya harus lebih jauh," ujar Lee. "Bekukan semua aset mereka dan keluarganya."

Kendati demikian, AS tetap membela keputusannya menjatuhkan larangan bepergian kepada petinggi militer Myanmar. Washington menyerukan agar negara lain melakukan hal serupa.

"Kami tetap fokus pada tindakan yang akan mengubah perilaku militer Burma (Myanmar), meminta pertanggungjawaban atas kekejaman dan pelanggaran lainnya, memberikan keadilan kepada korban, serta mendukung demokrasi dan kemakmuran di Burma," kata seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri AS.

AS telah melarang Panglima Militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing dan tiga komandan senior beserta keluarga mereka memasuki negaranya. Sanksi tersebut mulai diberlakukan pekan ini.

Sementara itu, jaksa Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Fatou Bensouda telah meminta izin kepada hakim ICC untuk memulai penyelidikan dugaan kejahatan terhadap Rohingya. "Hasil dari permintaan ini masih tertunda dan ada di hadapan pengadilan," kata wakil jaksa penuntut ICC James Stewart saat menggelar konferensi pers di Dhaka, Bangladesh.

Kehadiran Stewart dan anggota delegasi ICC lainnya di Bangladesh untuk menjelaskan proses peradilan kepada pemerintahan di sana. Namun, mereka tak akan mencari atau mengumpulkan bukti perihal dugaan kejahatan terhadap Rohingya.

Pada Agustus 2018, Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB telah menerbitkan laporan tentang krisis Rohingya yang terjadi di Rakhine. Dalam laporan itu disebut bahwa apa yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya mengarah pada tindakan genosida. Laporan itu menyerukan agar para pejabat tinggi militer Myanmar, termasuk panglima tertinggi militer Jenderal Min Aung Hlaing, diadili di ICC.

Dalam laporan tersebut, Dewan Keamanan PBB pun diserukan memberlakukan embargo senjata terhadap Myanmar, menjatuhkan sanksi kepada individu-individu yang bertanggung jawab, dan membentuk pengadilan ad hoc untuk menyeret mereka ke ICC.

Pada Agustus 2017, lebih dari 700 ribu etnis Rohingya melarikan diri dan mengungsi ke Bangladesh. Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi brutal untuk menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).

Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan menggantungkan hidup pada bantuan internasional.

Desak ASEAN

Lee juga mendesak ASEAN merespons dan mengambil tindakan atas pelanggaran HAM di Myanmar. Menurut dia, ASEAN memiliki peran besar untuk dimainkan di negara mayoritas Buddha itu.

Lee mengatakan, pelanggaran HAM di Myanmar menciptakan masalah yang makin serius untuk Asia Selatan dan Tenggara. Saat ini sekitar 1,5 juta pengungsi dari Myanmar berada di Bangladesh, India, Indonesia, Malaysia, dan Thailand.

Dia pun menyoroti perdagangan manusia dan obat bius dari Myanmar. Lee mengaku sedih dengan laporan bahwa anak perempuan belia diperdagangkan dari Myanmar utara ke negara-negara tetangga untuk dijadikan pekerja seks.

“Konflik selama bertahun-tahun di Negara Bagian Shan dan Kachin utara telah membuat keluarga putus asa secara finansial, membuat perempuan dan anak perempuan rentan terhadap perdagangan manusia,” kata Lee pada Kamis (18/7), dikutip laman Anadolu Agency.

Permasalahan HAM yang setumpuk di Myanmar tak bisa dianggap ringan. “Berlanjutnya pelanggaran HAM di Myanmar membahayakan kehidupan orang-orang di sekitar negara itu dan tanpa henti berdampak pada (negara) tetangga Myanmar sedemikian rupa sehingga dapat mengancam perdamaian serta keamanan Asia Selatan dan Tenggara,” ucap Lee.

Oleh sebab itu, Lee meminta negara-negara di kawasan mengambil tindakan yang lebih kuat. Hal itu perlu dilakukan guna mengatasi masalah keamanan yang disebabkan tindakan Myanmar.

photo
Seorang pria Rohingya berusaha melewati sungai Naf di perbatasan Myanmar-Bangladesh, untuk melarikan diri dari genosida militer Myanmar terhadap muslim Rohingya.

Pada awal April lalu, Menteri Luar Negeri Bangladesh Abdul Momen bertemu Menteri Luar Negeri Thailand Don Pramudwinai di Dhaka. Dalam pertemuan itu, Pramudwinai menyatakan bahwa ASEAN siap memainkan peran utama dalam menangani isu Rohingya, terutama terkait proses repatriasi. “Thailand adalah ketua ASEAN saat ini. Mereka bersedia mengambil peran utama dalam proses repatriasi pengungsi Rohingya,” ujar Momen.

Momen sempat menanggapi pertanyaan awak media tentang proposal Bangladesh untuk membentuk zona aman di Rakhine bagi orang-orang Rohingya. Dia mengatakan, Pramudwinai setuju dengan gagasan tersebut. Namun, penamaannya mungkin akan diganti. Pasalnya, nama “zona aman” mengandung konotasi tertentu. Dengan adanya zona itu, pengungsi Rohingya diharapkan dapat merasa aman untuk kembali. n kamran dikarma/reuters/ap ed: yeyen rostiyani

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement