REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Agung HM Prasetyo menolak anggapan bahwa jaksa menjadi penegak hukum yang rentan dan kerap menerima suap. Anggapan itu muncul karena jaksa kerap tertangkap dalam sejumlah kasus suap belakangan ini.
"Jangan digeneralisasi, kami punya 10 ribu orang jaksa lebih, jadi kalau 1, 2 orang yang melakukan hal-hal yang menyimpan itu adalah oknum," kata Prasetyo seusai menabur bunga dalam rangka Hari Adhyaksa di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan, Ahad (21/7).
Prasetyo mengklaim, kejaksaan selalu melakukan penertiban pada oknum jaksa yang melakukan penyimpangan. Selain itu, kejaksaan juga kerap melakukan perbaikan dari masa ke masa.
Meski demikian, politikus Nasdem ini mengakui adanya dinamika di masyarakat yang menyebabkan sejumlah jaksa luput dari pengawasan. Namun, Kejaksaan tetap memberikan instruksi dan perintah agar para jaksa memegang integritas sebagai penegak hukum
"Tidak bisa dipelototi satu per satu, tapi kita selalu memberikan arahan, instruksi dan perntah untuk benar-benar menjaga integritas, meningkatkan disiplin dan profesionalitas," kata Prasetyo.
Menurut dia, kejaksaan juga terus menanamkan agar para jaksa terhindar dari penyimpangan. Bila ada yang melakukan penyimpangan, Prasetyo berjanji akan melakukan tindakan tegas. "Kejaksaan dalam hal ini, Jaksa Agung tidak akan pernah ada kompromi untuk perbuatan menyimpang jaksa yang ada selama ini," kata Prasetyo.
Keterlibatan jaksa dalam kasus korupsi kembali jadi sorotan seteah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan tangkap tangan Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Agus Winoto, satu orang pengacara, dan satu pihak swasta pada Jumat (28/6). Mereka diduga memberikan atau menerima hadiah atau janji terkait penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Dalam kasus tersebut, dua jaksa lain, Kasubsi Penuntutan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Yadi Herdianto dan Kasi Kamnegtibum TPUL Kejaksaan Tinggi DKI Yuniar Sinar Pamungkas ikut diamankan KPK. Namun, keduanya dikembalikan ke Kejaksaan Agung.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, keterlibatan jaksa menunjukkan ada yang tidak beres dalam pengawasan internal kejaksaan. ICW mencatat, setidaknya dalam kurun waktu 2004 - 2018, tujuh orang jaksa terlibat praktik rasuah.
"Hal ini menandakan bahwa proses pengawasan di internal Kejaksaan, tidak berjalan secara maksimal," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana.
ICW juga mencatat tiga pola korupsi yang kerap dilakukan oknum jaksa. Pertama, tersangka diiming-imingi pemberian Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) dan Surat Keterangan Penghentian Penuntutan (SKP2).
Kedua, pemilihan pasal dalam surat dakwaan yang lebih menguntungkan terdakwa, atau hukumannya lebih ringan. Ketiga, pembacaan surat tuntutan yang hukumannya meringankan terdakwa.
Jaksa Agung ideal
Mantan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus), Sudono Iswahyudi, mengusulkan, jaksa agung pada pemerintahan Presiden Joko Widodo periode kedua idealnya adalah jaksa karier yang independen dan memiliki nilai plus. Menurut dia, jaksa agung yang memiliki nilai plus adalah jaksa karier yang masih aktif maupun telah purna, telah menduduki jabatan di semua tingkatan hingga eselon satu, dan pernah punya pengalaman berkarier di luar Kejaksaan Agung.
Sudono menilai, jaksa agung adalah jabatan profesi. Karena itu, jaksa agung harus sangat memahami tugas jaksa dan tata kelola kejaksaan. "Di Kejaksaan Agung juga memiliki kultur spesfik yang dipahami oleh jaksa karier. Kalau figur dari luar Kejaksaan Agung, maka harus banyak beradaptasi," kata dia dalam diskusi "Kriteria Jaksa Agung yang diharapkan Keluarga Besar Purna Adhyaksa" di Jakarta, kemarin.
Sudono juga menegaskan, jabatan jaksa agung sama dengan jabatan Panglima TNI dan Kapolri, yakni diisi oleh perwira tinggi karier. Jaksa agung juga harus independen dan merdeka dalam membuat keputusan dalam penegakan hukum.
"Jaksa agung, kalau dipengaruhi kekuatan tertentu, baik eksekutif maupun legislatif, seperti partai politik, maka tidak netral. Penegakannya bisa menjadi bias," kata dia.
Senada, mantan Direktur Penyidikan Kejagung, Chairul juga mengusulkan jaksa agung yang dari jaksa karier, baik masih aktif maupun purnatugas. Jaksa agung, kata dia, harus bersikap monoloyalitas, yaitu loyal pada aturan kejaksaan. Kalau jaksa agung dari partai politik atau direkomendasi oleh partai politik, maka dikhawatirkan akan terjadi bias loyalitas karena dia juga akan patuh pada ketua umum partai politiknya. "Ini dapat membuat penegakan hukum dapat menjadi bias," katanya.
(antara ed: ilham tirta)