REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhbib Abdul Wahab
Suatu ketika Nabi Muhammad SAW pernah bertanya kepada para sahabatnya, Tahukah kalian, siapakah orang yang muflis (orang yang bangkrut) itu? Karena tidak tahu apa yang dimaksud oleh Nabi, para sahabat pun menjawab, Menurut kami, muflis itu adalah orang yang tidak mempunyai harta benda.”
Jawaban itu tentu bukan yang dimaksud oleh Nabi. Seraya meluruskan jawaban mereka, Nabi lalu menjelaskan bahwa yang muflis di antara umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa amal-amal shalat, puasa, dan zakat. Tetapi, ia pernah mencaci, menuduh zina, merampas harta, membunuh, dan memukul orang lain. Maka pahala kebajikan orang tersebut akan diberikan--sebagai tebusan--kepada orang-orang yang dizaliminya itu.
Dan, apabila kebajikannya sudah habis, sementara kesalahan-kesalahannya belum semua tertebus, dosa orang-orang tersebut akan ditimpakan kepada orang tadi. Kemudian, ia dilemparkan ke dalam neraka.” (HR Muslim). Itulah orang yang muflis!
Hadis dialogis tersebut sangat sarat dengan spirit muhasabah (audit diri). Pertama, penyebab kebangkrutan amal seseorang adalah kejahatan sosial, termasuk korupsi. Neraca kesalehan individual seseorang ketika ditimbang dengan kejahatan sosialnya ternyata lebih ringan sehingga seseorang menjadi ‘tekor’ dan akhirnya bangkrut.
Kedua, orang yang miskin harta belum tentu bangkrut di akhirat, sementara orang yang kaya harta belum jaminan beruntung di akhirat. Orang yang kaya harta boleh jadi muflis di akhirat jika hartanya diperoleh melalui cara-cara yang tidak halal, seperti korupsi. Jadi, koruptor itu pasti merugi, bahkan bangkrut secara moral, baik di dunia maupun akhirat.
Ketiga, muflis itu pasti merugi di akhirat karena neraca keburukan amalnya lebih berat daripada amal salehnya, kendatipun ia mengaku beriman. Oleh karena itu, Alquran mengingatkan kepada kita bahwa agar tidak merugi, kita harus mengintegrasikan iman, ilmu, dan amal saleh, saling menasihati untuk menaati kebenaran dan menghiasi diri dengan kesabaran (QS Alashr [103]: 1-3). Beriman dan beramal saleh saja memang belum cukup karena seseorang terkadang dibuai oleh sifat takabur dan riya sehingga amal kebajikannya berkarat dan berkeropos.
Orang muflis mulanya merasa bangga dan takjub kepada dirinya bahwa ia telah shalat, puasa, zakat, haji, dan lainnya, tapi dalam waktu sama ia juga melakukan dosa-dosa sosial dan moral. Oleh karena itu, muhasabah menjadi sangat penting dilakukan kapan pun, lebih-lebih pada akhir tahun, agar jangan sampai amal-amal saleh kita tergerogoti oleh dosa-dosa sosial dan moral sehingga menjadi bangkrut, bahkan tekor.
‘Umar bin al-Khattab ra pernah berpesan: Hitunglah [amalan] dirimu, sebelum engkau dihitung [oleh Allah]”. Yang paling tahu neraca amal baik-buruk adalah diri kita sendiri dan Allah SWT. Dengan audit diri (muhasabah), kita dapat memosisikan diri sebagai hamba Allah yang merasa serbatidak sempurna sehingga kita terpacu untuk istikamah meningkatkan kualitas dan kuantitas amal ibadah kita kepada Allah.
Untuk menjauhkan diri dari kebangkrutan dunia dan akhirat, kita harus selalu memaknai hidup dengan berusaha menjadikan masa depan kita lebih baik. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang akan diperbuat untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Hasyr [59]: 18). Bukankah kita termasuk merugi jika neraca amal kita sama dengan hari kemarin atau tahun kemarin. Bahkan, kita sungguh terlaknat jika hari ini, bulan ini, atau tahun ini, amal kita justru lebih menurun dari hari, bulan, dan tahun sebelumnya.
Sungguh Allah SWT telah memberikan modal hidup yang sangat besar bagi kita. Kesehatan, anggota badan, dan akal pikiran yang dianugerahkan kepada kita mustahil dapat dinilai dengan harta. Karena itu, audit diri agar tidak muflis harus dimaknai sebagai ekspresi syukur kepada-Nya.
Ketika Rasulullah ditanya oleh istri tercinta, Aisyah. Ya Rasul, mengapa engkau mewajibkan dirimu untuk salat malam (tahajud) dan beristigfar lebih dari 100 kali dalam sehari? Padahal, tidakkah engkau sudah dipelihara oleh Allah dari berbuat salah dan dosa (ma’shum) dan engkau pasti masuk surga? Rasul menjawab singkat: Aku melakukan semua itu karena aku ingin menjadi hamba-Nya yang pandai bersyukur?” (HR Muslim). Wallahua’lam.