Murid-murid di Australia belajar bahasa Indonesia mungkin terdengar biasa bagi Anda, tapi bagaimana dengan belajar agama dengan bahasa Indonesia sebagai bahan pengantarnya?
Sekolah Loyala College di daerah Watsonia, sekitar 20 km dari pusat kota Melbourne, memiliki program unik yang menggunakan bahasa Indonesia untuk mengajarkan kelas agama.
Sudah ada empat angkatan yang mengikuti pelajaran agama yang disampaikan dengan bahasa Indonesia di sekolah Katolik ini.
Raymond Setiawan adalah guru Indonesia yang mengajarkan mata pelajaran agama dengan bahasa Indonesia di sekolah ini dan ia sudah melakukannya selama empat tahun.
"Saat pertama kali diperkenalkan, ada 15 anak-anak dari Kelas 9 yang mengambilnya hingga Kelas 10," ujar Raymond saat dihubungi Erwin Renaldi dari ABC Indonesia.
Kelas ini adalah bagian dari program Content Language Integrated Learning (CLIL), dimana mengajarkan mata pelajaran dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Sebelum Kelas Pelajaran Agama diperkenalkan kepada murid-murid, Raymond mengatakan setidaknya dibutuhkan satu tahun untuk merancang kurikulum, lengkap dengan materinya.
Di Loyala College ada kelas tiga bahasa yang ditawarkan kepada murid-muridnya, selain Indonesia ada pula Italia dan Perancis.
"Minat belajar bahasa Indonesia di sekolah ini cukup positif, meski kecenderungannya di Australia menurun," kata Raymond.
Salah satu usahanya untuk membuat kelas Indonesia menarik adalah mengajarkannya sekreatif mungkin, seperti memasak nasi goreng, menonton film Indonesia, sampai merayakan 17 Agustusan lengkap dengan lomba makan kerupuk.
Di sisi lain, Australia dikenal sebagai negara sekuler dan kurang tertarik dengan agama, tetapi Raymond mengaku banyak murid-muridnya yang kini menyukainya.
"Ada murid saya yang awalnya tidak suka belajar agama, tapi karena ia suka belajar Bahasa Indonesia, sekarang pun ia jadi suka pelajaran agama," jelas pria berusia 45 tahun tersebut.
Kelas Agama dengan pengantar Bahasa Indonesia biasanya dimulai dengan doa bersama 'Salam Maria' yang dibacakan murid-murid dalam bahasa Indonesia.
Bahkan kelasnya pernah juga membawakan lagu 'Malam Kudus' dengan alunan alat musik angklung.
Menurut Raymond, jika dibandingkan dengan Kelas Bahasa Indonesia biasa, murid-muridnya memiliki kemampuan berbahasa yang lebih baik.
Salah satu alasannya karena Kelas Bahasa Indonesia biasa hanya diajarkan tiga jam dalam sepekan.
Sementara Kelas Agama dengan pengantar Bahasa Indonesia bisa mencapai delapan hingga sepuluh jam.
"Tapi fokus kita utama bukan soal Bahasa Indonesia-nya, tetapi konten pelajaran agamanya."
Pelajaran agama yang disampaikan pun tidak melulu soal ajaran Katolik, tetapi agama lainnya di Indonesia.
"Awalnya murid-murid saya menyangka Indonesia adalah negara Hindu karena tahunya cuma Bali," katanya.
"Sekarang pun saya membahas soal pergi haji untuk menceritakan bahwa bukan hanya kita saja yang berziarah, tapi juga Muslim ke Makkah."
Raymond sendiri adalah peraih beasiswa Australian Award di tahun 2005, yang saat itu menempuh pascasarjana di bidang 'Human Resource Management'.
Dengan latar belakang ilmu psikologi, ia juga pernah menjadi dosen di Universitas Atma Jaya Jakarta dan Bina Nusantara University, sebelum menjadi wakil kepala sekolah di Santa Laurensia, di kawasan Alam Sutera, Banten.
Kemudian ia mengajukan permohonan menjadi penduduk tetap Australia (PR) di tahun 2011 dengan mengambil jalur menjadi guru.
"Sulit ternyata kalau mencari pekerjaan dari Indonesia, jadi harus di Australia dan disinilah saya mendapat tawaran kerja," ujarnya yang sudah mengajar Bahasa Indonesia di Australia selama enam tahun.
Loyola College juga sudah menawarkan kelas 'Humanity' yang disampaikan dalam Bahasa Indonesia.
Simak berita lainnya dari ABC Indonesia dan ikuti kami di Facebook ABC Indonesia.