REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam buku Waqf and Ottoman Welfare Policy, Oded Peri menyatakan, para sultan Ottoman menempatkan wakaf sebagai instrumen pendanaan yang penting untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Pada aspek agama, misalnya, dana wakaf didayagunakan untuk membangun masjid dan memajukan dakwah.
Di ranah pendidikan, ribuan madrasah berdiri dengan memanfaatkan dana wakaf. Dalam layanan sosial, melalui dana wakaf, pemerintah mampu mendirikan banyak rumah sakit, dapur umum, atau bantuan kredit usaha kecil. Anggaran pembangunan jalan, jembatan, dan saluran irigasi berasal dari sumber yang sama.
Selama masa kekuasaan Ottoman (1299-1923), kata Hosen Esmailli dalam Relationship Between the Waqf Institution in Islamic Law and the Rule of Law in the Middle East, institusi wakaf menjadi bagian penting dari sistem ekonomi negara. Pengelolaan wakaf dikoordinasikan dengan kementerian negara.
Sebagian hasil pengelolaan wakaf kemudian mengalir ke kas negara. Kelak, dana itu untuk membangun fasilitas dan sarana umum. Menurut Profesor Murat Cizakca dari Fatih University, Turki, ada dua bentuk wakaf yang populer saat itu. Pertama adalah wakaf uang dan jenis alinnya berbentuk tanah atau properti.
Melalui tulisannya berjudul Ottoman Cash Waqf Revisited: The Case of Bursa, Murat menyatakan, wakaf dalam bentuk tunai biasanya diinvestasikan, misalnya di sektor properti serta perumahan. Sementara itu, wakaf tanah dan bangunan bisa disewakan atau dijual untuk mendapatkan dana tunai.
Ismail al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi dalam Atlas Budaya: Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang berpandangan bahwa wakaf seperti yang dipraktikkan di era Ottoman merupakan contoh paling awal pengembangan moral. Sebab, harta wakaf terus berkembang dan bermanfaat demi kemaslahatan umat.