REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Para peneliti dari Inggris dan Thailand menyatakan, virus malaria yang kebal terhadap obat-obatan utama telah menyebar dengan cepat di Asia Tenggara.
"Jenis malaria ini telah menyebar dan menjadi lebih buruk," kata peneliti Wellcome Sanger Institute, Dr Roberto Amato, dilansir BBC, Selasa (23/7).
Parasit telah berpindah dari Kamboja ke Laos, Thailand, dan Vietnam. Setengah dari pasien tidak sembuh dengan obat pilihan pertama. Para peneliti menyatakan temuan itu meningkatkan resistensi obat yang dapat menyebar ke Afrika.
Adapun malaria diobati dengan kombinasi dua obat, artemisinin dan piperakuin. Obat diperkenalkan di Kamboja pada 2008. Namun, pada 2013, kasus pertama parasit yang bermutasi dan mengembangkan resistensi terhadap kedua obat terdeteksi, di bagian barat negara itu.
Studi terbaru, yang diterbitkan dalam Lancet Infectious Diseases, menganalisis sampel darah dari pasien di seluruh Asia Tenggara. Pemeriksaan DNA parasit menunjukkan resistensi telah menyebar di seluruh Kamboja, serta ke Laos, Thailand, dan Vietnam.
Virus malaria tersebut juga bermutasi lebih lanjut, membuatnya bahkan lebih bermasalah. Di beberapa daerah, 80 persen parasit malaria resisten terhadap obat.
Studi kedua, yang diterbitkan dalam jurnal yang sama, menunjukkan setengah dari pasien tidak sembuh dengan terapi standar. Namun, ada obat-obatan alternatif yang bisa digunakan sebagai gantinya.
"Dengan penyebaran dan intensifikasi resistansi, temuan kami menyoroti kebutuhan mendesak untuk mengadopsi pengobatan lini pertama alternatif," ucap peneliti Unit Penelitian Klinis Universitas Oxford, Prof Tran Tinh Hien, di Vietnam.
Pengobatan tersebut termasuk menggunakan obat yang berbeda bersama artemisinin atau menggunakan kombinasi tiga obat untuk mengatasi resistensi. Kemajuan besar telah dibuat untuk menghilangkan malaria. Namun, perkembangan resistensi obat mengancam kemajuan itu. Masalah lainnya, yakni jika resistansi menyebar lebih jauh dan mencapai Afrika. Pasalnya, lebih dari sembilan dalam 10 kasus malaria terjadi di wilayah tersebut.
"Tekanan parasit resisten yang sangat sukses ini mampu menginvasi wilayah baru dan memperoleh sifat genetik baru, meningkatkan prospek mengerikan yang bisa menyebar ke Afrika, di mana sebagian besar kasus malaria terjadi, seperti yang terjadi pada resistansi terhadap klorokuin pada 1980-an, berkontribusi pada jutaan kematian," kata peneliti Wellcome Sanger Institute dan University of Oxford, Prof Olivo Miotto.
Semua upaya mengendalikan nyamuk yang menyebarkan penyakit tidak akan berubah. Namun, para peneliti mengatakan obat yang diberikan kepada penderita setelah infeksi harus berubah.
"Parasit ini adalah binatang yang menakutkan, tidak ada keraguan," kata peneliti, Prof Colin Sutherland, dari London School of Hygiene dan Tropical Medicine.
Di Kamboja terdapat 262 ribu kasus malaria pada 2008 dan 36.900 kasus malaria pada 2018. Menurut Prof Sutherland, meski parasit yang resistan terhadap obat tidak diragukan menyebar, tetapi hal itu belum tentu menjadi ancaman global.
"Implikasinya tidak separah yang kita duga," kata dia.