Selasa 23 Jul 2019 13:42 WIB

Jurnalis Rappler Kembali Disidang di Filipina

Pemimpin Rappler, Maria Ressa dituntut atas tuduhan pencemaran nama baik.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Pemimpin redaksi Rappler, situs berita Filipina yang kritis terhadap pemerintahah, Maria Ressa, ditangkap.
Foto: Bullit Marquez/AP
Pemimpin redaksi Rappler, situs berita Filipina yang kritis terhadap pemerintahah, Maria Ressa, ditangkap.

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Persidangan pencemaran nama baik yang menjerat wartawan Filipina Maria Ressa dibuka pada Selasa (23/7). Kasus tersebut dilihat oleh pembela kebebasan pers sebagai pembalasan pemerintah atas pelaporan kritis situs berita tentang Presiden Rodrigo Duterte.

Ressa memimpin redaksi media online Rappler dan dinobatkan Majalah Time sebagai "Person of the Year" pada 2018 karena kegiatan jurnalistiknya. Awal tahun lalu, ia dibebaskan dengan jaminan dan akan menghadapi kurungan penjara jika dinyatakan bersalah.

Baca Juga

Kasus tersebut adalah di antara serangkaian tuntutan pidana yang telah menimpa Ressa dan Rappler selama setahun terakhir. Kasus itu juga memicu tuduhan bahwa pihak berwenang menargetkan Ressa dan timnya bagi pekerjaan kejurnalistikan mereka.

Dilansir Channel News Asia, portal berita Rappler kerap melaporkan dan kritis soal kebijakan-kebijakan Duterte. Laporan itu termasuk tindakan keras Duterte yang mematikan. Tindakan tersebut menurut kelompok hak asasi manusia merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

"Pesan yang dikirim pemerintah sangat jelas. Diam atau kamu yang berikutnya," kata Ressa pada Februari ketika dia mengirim uang jaminan setelah menghabiskan malam di penjara karena kasus pencemaran nama baik.

Kasus yang dibuka di persidangan pada Selasa, berpusat pada laporan Rappler pada 2012 tentang dugaan hubungan pengusaha dengan hakim pengadilan tinggi negara. Penyelidik pemerintah awalnya menolak keluhan pengusaha pada 2017 tentang artikel tersebut, namun jaksa penuntut negara kemudian memutuskan untuk mengajukan tuntutan.

Landasan hukum dari kasus tersebut adalah "hukum kejahatan siber" yang kontroversial. Aturan itu ditujukan untuk pelanggaran daring mulai dari menguntit hingga pornografi anak.

Menurut Ressa (55 tahun), undang-undang itu tidak berlaku hingga beberapa bulan setelah berita itu diterbitkan. Meski demikian, pengacara pemerintah mengatakan, ini adalah artikel baru sejak Rappler memperbaruinya pada 2014 untuk memperbaiki kesalahan ketik.

Sementara, penggugat adalah warga negara dari swasta. Seperti semua kasus kriminal di Filipina, tuntutan tersebut dituntut oleh pengacara pemerintah.

Rappler mengatakan, kehadiran Ressa di pengadilan tidak wajib sehingga dia tidak pasti untuk menghadiri persidangan. Selain itu, Ressa dan Rappler juga menghadapi kasus pajak dan kasus penipuan.

Kasus pencemaran nama baik telah menarik perhatian internasional. Menteri Luar Negeri Kanada Chrystia Freeland dan mantan Menteri Luar Negeri AS Madeleine Albright menyatakan keprihatinan atas hak-hak demokratis.

Pengacara hak asasi manusia, Amal Clooney, yang bergabung dengan tim hukum Ressa mengatakan kasus Ressa kembali menggemakan tema yang berulang dalam pekerjaan jurnalistik. Wartawan yang mengekspos pelanggaran menghadapi penangkapan, sementara mereka yang melakukan pelanggaran melakukannya dengan impunitas.

Duterte, yang menyangkal berada di balik kasus tersebut, mengkritik Rappler. Duterte juga melarang meliput acara publiknya dan melarang pejabat pemerintah berbicara dengan wartawan Rappler.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement