Kamis 11 Jul 2019 17:16 WIB

'Toleransi di Medsos untuk Indonesia yang Lebih Baik'

Kegaduhan di medsos ini ada kaitannya dengan kebebasan berpendapat pemilik akun.

Media sosial
Foto: ist
Media sosial

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Euforia media sosial (medsos) terutama selama pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 telah membuat kondisi sosial kemasyarakat bangsa Indonesia menjadi bergeser. Masyarakat Indonesia yang dulu dikenal ramah dan santun menjadi mudah marah, yang dulu guyub dan suka musyawarah menjadi manusia yang egois dan menang sendiri. Bahkan medsos juga untuk menyuarakan narasi-narasi negatif seperti intoleransi, radikalisme, terorisme, dan ekstremisme.

“Kegaduhan di medsos ini ada kaitannya dengan kebebasan berpendapat pemilik akun medsos. Makanya jauh-jauh hari saya katakan pemilik akun media sosial seharusnya memiliki tanggungjawab terhadap dirinya, terhadap lingkungan sekitarnya, terhadap hari ini, terhadap masa depan,” kata pengamat komunikasi politik Dr Hendri Satrio di Jakarta, Rabu (10/7).

Hendri menilai, medsos telah membuat masyarakat keblinger sehingga gempuran narasi intoleransi, radikalisme, terorisme, ektremisme, banyak berseliweran di dunia maya. Hal ini tidak bisa dibiarkan, agar kondisi sosial kemasyarakatan baik di dunia maya dan dunia nyata bisa lebih sejuk, damai, guyub, sesuai ciri utama bangsa Indonesia.

Salah satu cara untuk mengembalikan itu semua, kata Hendri, bagaimana pemilik akun dan kemudian dunia maya yaitu media daring, menyuarakan narasi yang menyejukkan, dan tidak lagi mengunggah konten berbau radikalisme, terorisme, dan intoleransi.

“Kita harus kembali ke kaidah atau atau warisan pendiri bangsa. Ada banyak teknologi yang ditinggalkan pendiri bangsa untuk Indonesia seperti musyawarah mufakat, toleransi, tepo seliro di dunia nyata dan dunia maya,” tutur Hendri.

Berbicara tentang medsos dan berbagai fenomena yang ditimbulkan, Hendri mengungkapkan, hal ini juga tidak lepas dari kepemimpinan bangsa. Menurutnya, para pemimpin bangsa harus walk the top dan mampu memberikan contoh kepada masyarakat dengan menghindari isu tentang radikalisme, terorisme, dan intoleransi. Para pemimpin harus bisa mengajak masyarakat agar tidak memberikan stigma radikal, intoleran, ekstremis kepada orang indonesia lainnya.

“Yang boleh memberikan stigma radikal, ekstremiss, intoleransi hanya hukum. Jadi tidak boleh individu yang memberikan stempel negatif kepada orang lain. Kalau itu terjadi, Insya Allah musyawarah mufakat, tepo seliro, toleransi, dan persatuan Indonesia bisa terwujud dengan baik,” ungkap founder Lembaga Survei KedaiKOPI ini.

Hendri setuju bila kebebasan yang bertanggungjawab itu tetap diberikan kepada para pengguna akun medsos. Tentunya pegiat medsos terutama para pengguna akun berbayar untuk sebuah pesan tertentu bisa dikurangi, terutama hal yang berbau politik.

“Ini memang harus ditertibakan, akan sulit bila akun berbayar yang masih diberikan pekerjaan untuk menyampaikan isu tentang politik yang bisa menyebabkan bangsa ini tetap panas. Silakan saja bila hal tentang marketing dan sisi kreativitas yang lain,” kata akademi Universitas Paramadina ini.

Hendri juga mengimbau agar pemerintah secara berkala harus memberikan pendidikan kepada masyarakat tnetang penggunaan medsos yang bertanggungjawab. Diakui, saat ini memang beda dengan 10-15 tahun lalu saat media konvensional berkuasa, dimana medsos leading mengalahkan media konvensional. Kalau dulu orang tidak bisa memilih apa yang dibaca, sekarang masyarakat bebas berselancar di dunia maya. Untuk itu, kembali Hendri mengajak semua pihak agar bijaksana, terutama saat beraktivitas di medsos.

“Gunakan  jempol sebaik-baiknya, jangan sampai gara-gara jempol kita, Indonesia terpecah belah,” katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement