Selasa 23 Jul 2019 19:14 WIB

Rocky Gerung Soroti Putusan Bebas Syafruddin dan Kasus Novel

Kasus Syafruddin dan Novel dinilai sebagai pekerjaan rumah pemberantasan korupsi.

Pengamat Politik Rocky Gerung (kanan) menyampaikan materi saat diskusi di Aula Gedung Penunjang Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (23/7/2019).
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Pengamat Politik Rocky Gerung (kanan) menyampaikan materi saat diskusi di Aula Gedung Penunjang Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (23/7/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akademisi Rocky Gerung menyoroti soal putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) terhadap mantan ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung dan belum tuntasnya penyelesaian kasus penyerangan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Dua perkara ini dinilai Rocky sebagai bagian pekerjaan rumah pemberantasan korupsi dan penegakan HAM.

"Ada dua pekerjaan rumah itu hak asasi manusia dan pemberantasan korupsi karena dalam dua pekan ini dua faktor itu muncul lagi, yaitu lolosnya Syafruddin dan tidak selesainya kasus Novel yang adalah soal HAM," kata Rocky, dalam diskusi "Upaya Mempertahankan Independensi KPK" yang diselenggarakan Wadah Pegawai KPK di gedung KPK, Jakarta, Selasa (23/7).

Terkait putusan kasasi terhadap Syafruddin, Rocky menilai, MA sudah membuat kecerobohan dengan memutuskan Syafruddin tidak melakukan tindak pidana. Akibatnya, Syafruddin harus dikeluarkan dari tahanan alias bebas.

"Mengapa MA membuat semacam kecerobohan meloloskan orang yang di dalam proses awal ada dalam ranah pidana tiba-tiba dibikin 'kabur' mana pidana, mana perdata, mana administrasi negara," ujar Rocky.

Sementara, soal belum tuntasnya kasus penyerangan Novel, ia menyinggung soal tim pencari fakta bentukan kapolri yang belum bisa menemukan pelaku penyerangan Novel. "Coba anda bayangkan kalau ada tim pencari fakta dalam kasus Novel, itu artinya ada variabel nonkriminal masuk di dalam kasus Novel, kalau kriminal biasa polisi nanganin kan. Jadi, tim pencari fakta itu biasanya dibentuk karena variabel-variabel standar konvensional tidak mungkin dipakai untuk membongkar kasus makanya dibikin tim pencari fakta. Mesti ada unsur lain selain polisi," tuturnya.

Selanjutnya, lanjut Rocky, ia juga mempermasalahkan adanya pembentukan tim teknis atas rekomendasi dari tim pencari fakta tersebut. Adapun selaku pimpinan tim teknis tersebut adalah Kabareskrim Polri Komisaris Jenderal Polisi Idham Azis.

"Tim pencari fakta bilang oke kami sudah temukan masalahnya, masalahnya adalah bentuk tim teknis untuk memastikan fakta-fakta, siapa? Polisi lagi. Dari awal ini bukan peristiwa kriminal, makanya itu dibuat tim pencari fakta kok dibalikin ke polisi," ungkap Rocky.

Ia pun menganggap rumit dengan banyaknya tim untuk mengungkap kasus Novel yang diserang pada 11 April 2017 lalu tersebut. "Hasil tim teknis ini akan dikembalikan kepada presiden, presiden akan evaluasi. Kan kelihatan dari awal dibikin rumit prosedurnya. Itu soalnya kenapa publik jengkel soal itu dibikin tim, tetapi tim bikin tim," kata Rocky.

Seperti diberitakan sebelumnya, MA mengabulkan permohonan kasasi mantan ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung. Putusan kasasi bernomor perkara 1555K/pid.sus 2019 itu menyatakan Syafruddin terbukti melakukan perbuatan sesuai dakwaan yang ditujukan kepadanya, tetapi perbuatan tersebut bukan tindak pidana.

"Mengadili sendiri menyatakan SAT terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya, akan tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana," ujar Ketua Bidang Hukum dan Humas MA Abdullah di gedung MA, Jakarta Pusat, Selasa (9/7).

Berdasarkan putusan kasasi tersebut, hakim meminta agar jaksa mengeluarkan Syafruddin dari tahanan, mengembalikan segala barang bukti kepadanya. Selain itu, jaksa juga diminta untuk memulihkan hak dan martabat Syafruddin.

Dalam putusan kasasi ini terdapat dissenting opinion atau perbedaan pendapat. Ketua majelis hakim Salman Luthan sependapat dengan judex facti dengan pengadilan tingkat banding. Sedangkan hakim anggota I, Syamsul Rakan Chaniago, berpendapat bahwa perbuatan Syafruddin merupakan perbuatan hukum perdata.

Kemudian hakim anggota II, Mohammad Askin, berpendapat perbuatan Syafruddin merupakan perbuatan hukum administrasi. "Dalam putusan tersebut, ada dissenting opinion. Jadi, tidak bulat," ujar Abdullah.

Syafruddin sebelumnya telah dijatuhi hukuman 15 tahun pidana penjara dan denda Rp 1 miliar subsider tiga bulan kurungan oleh Pengadilan Tinggi DKI dalam putusan banding. Usai putusan MA, Syafruddin menghirup udara bebas pada Senin (9/7) malam. 

"Saya mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah SWT. Bahwa saya bisa di luar sekarang dan ini adalah satu proses perjalanan panjang," kata Syafruddin di depan Rutan KPK, Jakarta, Selasa (9/7).

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement