Rosihan Anwar asal Makassar mengaku pernah beberapa kali mengalami kecelakaan di tempat kerjanya di Melbourne, Australia.
Kecelakaan paling parah adalah sekitar dua tahun lalu, saat ia hampir saja kehilangan tangan kirinya yang akibat besi yang menyayat telapak tangannya.
Rosihan saat itu bekerja di sebuah perusahaan yang memanaskan dan mengecat besi, dengan produk akhirnya dipakai sebagai kotak listrik berukuran besar yang biasa ditemui di jalan-jalan kota Melbourne.
"Kita selalu mengangkatnya berdua dan biasanya menggunakan hitungan, tapi hari itu teman kerja saya menurunkan cepat tanpa aba-aba," ujar Rosihan.
"Jadi pintu dengan lebar 1 meter itu terlepas dari pegangan saya dan menyosor terkena telapak saya," katanya kepada Erwin Renaldi dari ABC.
Rosihan mengaku jika saat itu sudah menggunakan sarung tangan, mengikuti aturan keselamatan kerja, bahkan sampai dua lapis.
Kebetulan pemilik perusahaan sedang berada di lokasi kejadian dan langsung memberikan pertolongan darurat dan mengantar ke rumah sakit.
Akibat kecelakaan ini, Rosihan tidak bekerja selama tiga bulan lamanya dengan tetap menerima gaji, meski tidak mendapat kompensasi lainnya.
Jenis pekerjaan dengan risiko tinggi
Menurut data Badan Statistika Australia, 4,2 persen dari 13,4 juta pekerja di Australia yang sedang bekerja di waktu bersamaan mengalami kecelakaan dan sakit terkait pekerjaan mereka dalam kurun waktu 2018 -2019.
Teknisi dan 'tradie', serta pekerja di bidang perawatan pribadi dan komunitas adalah kelompok dengan tingkat kecelakaan kerja yang paling tinggi. Kelompok selanjutnya adalah operator mesin dan buruh kasar.
Berdasarkan industrinya, konstruksi adalah yang paling berisiko tinggi, diikuti manufaktur dan ritel.
Di Australia, mengangkat, mendorong, serta membungkuk adalah penyebab utama kecelakaan yang paling sering terjadi.
Biasanya di hari atau pekan pertama di pekerjaan baru, pekerja wajib mengikuti 'induction' atau pengenalan cara memakai peralatan dan sistem yang ada di kantor.
"Tapi karena bagi kita orang Indonesia susah dapat pekerjaan, kita tidak banyak bertanya bagaimana caranya," ujar Rosihan.
"Jadi harus benar-benar tahu apa risiko pekerjaan kita dan paham betul bagaimana mencegahnya."
Rosihan kini pindah kerja dan memilih menjadi kurir setelah bekerja selama 7 tahun di perusahaan besi tersebut.
Ia mengaku sering kehilangan kukunya, pernah juga tertabrak 'forklift' atau mesin pengangkut barang.
Dari pengalamannya, meski pelatihan keselamatan sudah dilakukan di awal kerja, tapi seharusnya perusahaan melakukannya lagi setiap beberapa tahun.
Ketahui hak soal keselamatan kerja
Sepanjang tahun lalu, 45 persen pekerja yang mengalami kecelakaan di tempat bekerja tidak meminta kompensasi, menurut data ABS.
Alasan mereka kebanyakan adalah menganggap kecelakaannya ringan, selain ada pula yang tidak tahu jika ada kompensasi.
"Memang orang Indonesia itu kebanyakan pemaaf, ada juga teman saya yang pernah mengalami kecelakaan karena tidak berani bilang," jelas Rosihan.
Padahal menurutnya jika dilaporkan, semua hak temannya tersebut bisa dipenuhi karena setiap perusahaan memiliki asuransi terkait keselamatan kerja.
Sementara itu sebuah studi yang dilakukan 'Safe Work Australia' pernah menyebutkan pekerja dari negara-negara yang tidak berbahasa Inggris kemungkinannya kecil untuk mengajukan kompensasi.
"Kita enggak bisa lagi mengatakan 'ah ini tidak apa-apa', saya pun sempat tidak tahu sebelum ada teman mengatakan," ujarnya.
Untuk mengetahui keselamatan kerja di Australia, Anda bisa mengeceknya di situs Safe Work Australia, atau lembaga sejenis di tiap-tiap negara bagian.
Di Victoria, informasi bagaimana Anda harus menangani saat mengalami kecelakaan di tempat kerja sudah tersedia dalam Bahasa Indonesia.
Informasi soal studi dan bekerja di Australia bisa disimak di ABC Indonesia dan bergabunglah dengan komunitas kami di Facebook.