REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- "Burung dara burung merpati, Terbang cepat ya tuan tiada tara, Bilalah kita ya tuan suka menyanyi, Badanlah sehat ya tuan hati gembira"
Lagu "Kicir-kicir" melantun kencang dinyanyikan seorang pria berpakaian pangsi khas Betawi dengan iringan para pemain musik tradisional asli Jakarta, Gambang Kromong. Di depan penampil, tampak sejumlah ibu berpakaian kaos seragam penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) berjoget gembira.
Sementara sebagian ibu lainnya duduk menertawakan polah kawan-kawannya sembari mengangguk-anggukkan kepala mengikuti irama lagu daerah Betawi itu. Sekitar 200 meter dari panggung gambang kromong, beberapa anak muda menggoreskan canting batik di atas kain mori putih.
Namun bukan motif Parang, Kawung, maupun motif batik terkenal dari Jawa lainnya, tetapi motif Ondel-ondel, Nusa Kelapa, Ciliwung, Rasamaladan Salakanegarayang mereka buat.
Berjalan 10 meter dari gerbang lokasi produksi batik motif Betawi itu, deretan warung kuliner dan toko cinderamata ikon Jakarta, ondel-ondel, akan menyambut para pengunjung di tepi danau bernama Setu Babakan.
Semilir angin danau dan rimbunnya pepohonan memanjakan siapa saja yang berada di situ. Apalagi sambil menyantap sajian tradisional setempat, seperti laksa, soto betawi, kerak telor dan minuman bir pletok yang banyak dijajakan para pedagang di tepian Setu Babakan.
Begitulah suasana Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan yang berada di Kelurahan Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Pembangunan kawasan
Sejak 18 Agustus 2000 Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta saat itu, Sutiyoso atau Bang Yos, menetapkan Setu Babakan sebagai kawasan cagar budaya Betawi melalui Peraturan Gubernur Nomor 9 Tahun 2000.
Setelah terbitnya Pergub tersebut, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mempersiapkan Setu Babakan menjadi kawasan istimewa bernuansa budaya Betawi.
"Awalnya Setu Babakan tidak sendiri, ada empat daerah lainnya yang direncanakan menjadi cagar budaya Betawi," kata Kepala Satuan Pelaksana Layanan dan Informasi Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi (UPK PBB) Setu Babakan, Bayu Permana.
Kawasan Condet di Jakarta Timur, Srengseng di Jakarta Barat, Kemayoran di Jakarta Pusat dan Marunda di Jakarta Utara.
"Empat daerah tersebut bersama Setu Babakan di Jakarta Selatan merupakan daerah-daerah di Jakarta yang direncanakan menjadi kawasan pelestarian budaya Betawi," kata Bayu yang juga asli Betawi itu.
Namun seiring berjalannya waktu, kini Setu Babakan lebih diprioritaskan oleh pemerintah menjadi sebuah kawasan terpadu untuk pelestarian kebudayaan Betawi.
Secara keseluruhan, Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan memiliki luas 289 hektare, 30 persen di antaranya dikelola Pemerintah Provinsi DKI Jakarta "Semuanya terbagi menjadi dua area yaitu area statis yang dikuasi Pemprov DKI Jakarta dan area dinamis yang dimiliki warga," kata Bayu.
Selain itu, kawasan ini juga dibagi menjadi lima zona, antara lain zona embrio yang berisi bangunan awal kampung budaya Setu Babakan, zona A, zona B atau tempat produksi batik, zona C pulau dengan replika perkampungan Betawi dan zona pengembangan.
Untuk zona A, saat ini merupakan zona utama yang telah dilengkapi dengan gedung museum, panggung terbuka, rumah-rumah adat, gedung serba guna, dan kantor pengelola.
Kini kawasan Setu Babakan terdapat rumah-rumah khas Betawi yang mengandung makna dalam tiap bentuk atau arsitekturnya.
Tak hanya rumah-rumah adat Betawi, museum yang memamerkan lukisan, benda-benda antik dan hasil produk budaya Betawi juga telah berdiri megah di kawasan itu.
"Untuk zona pengembangan rencananya akan menjadi lokasi sekolah menengah kejuruan (SMK) Kebudayaan Betawi yang saat ini belum dibangun," kata Bayu.
Selain itu, saat ini Pemprov DKI Jakarta melakukan penyempurnaan replika perkampungan khas Betawi yang berada di pulau di tengah Setu Babakan.
"Kami menargetkan penyempurnaan ini selesai pada akhir 2019 sehingga harapannya pada 2020 obyek terbaru di kawasan ini sudah dapat dibuka dan dinikmati wisatawan," kata Bayu.
Saat ini, pembangunan replika permukiman telah selesai pada bangunan-bangunan rumah adat dan tahap selanjutnya akan dibuat sawah, kubangan kerbau, kebun, dan empang (kolam ikan) di dalam replika perkampungan itu.
Penyempurnaan itu bertujuan menciptakan suasana tempat itu sama seperti suasana perkampungan masyarakat Betawi masa lampau.
Pulau yang menjadi lokasi replika perkampungan budaya Betawi itu sendiri dahulunya merupakan tanah urukan dari proyek perluasan Setu Babakan pada 2000.
Sebelumnya, Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi (UPK PBB) Setu Babakan menargetkan jumlah pengunjung di kawasan yang mereka kelola mencapai 400 ribu orang setiap tahun.
Bayu berharap adanya replika perkampungan budaya Betawi di pulau di tengah danau dapat berkontribusi pada tingkat kunjungan wisatawan di Setu Babakan.
Atraksi budaya
Tidak hanya dalam pembangunan fisik, pelestarian budaya Betawi di Setu Babakan juga dilakukan dengan mencetak bibit-bibit baru penerus.
Saban Rabu dan Minggu anak-anak dan para remaja berlatih sejumlah kesenian tradisional di Sanggar Setu Babakan.
Tari Topeng Betawi, musik Gambang Kromong, gambus, keroncong, marawis, hingga seni lenong dan silat menjadi materi yang dilatih oleh para pelestari budaya setempat.
Tak hanya untuk generasi muda penghuni kawasan itu, wisatawan yang berkunjung juga diperkenankan ikut berlatih maupun sekadar melihat-lihat saja.
Selain itu, untuk meningkatkan minat masyarakat berkunjung di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, pengelola kawasan terus meningkatkan jumlah pertunjukan.
"Pada 2019 ini kami mengadakan pertunjukan sejumlah jenis kesenian khas Betawi dari sekitar 160 penampil, baik seniman perorangan maupun kelompok. Sementara pada 2018 lalu jumlahnya 98 penampil," kata Kepala Satuan Pelaksana Layanan dan Informasi UPK PBB Setu Babakan, Bayu Permana.
Hingga Juli 2019 ini, lanjut dia, jumlah penampil yang telah pentas sekitar 50 persen dan sisanya akan secara bergiliran tampil reguler setiap hari Minggu dan hari libur nasional.
"Selain waktu yang telah ditentukan itu, wisatawan dapat memesan pementasan dalam paket kunjungan wisata yang dilakukan secara rombongan pada hari kapan pun sesuai pesanan," kata Bayu.
Untuk jenis kesenian tradisional Betawi yang ditampilkan, ada beraneka ragam. Dari yang familiar bagi masyarakat Indonesia, seperti Ondel-ondel, Lenong, dan Gambang Kromong, hingga kesenian-kesenian tradisional Betawi yang kurang dikenal masyarakat.
"Beberapa di antaranya yang sudah jarang ditemui di Jakarta, antara lain Topeng Blantek, Lenong Denes, Wayang Kulit Betawi, Wayang Orang Betawi dan Wayang Golek Betawi," kata dia.
Bayu meyakini banyak di antara masyarakat Indonesia, khususnya di Jakarta, belum mengetahui ada wayang kulit maupun wayang orang dengan cerita Mahabarata dan Ramayana yang biasa tapi dibawakan dengan Bahasa Melayu gaya Betawi.
"Uniknya lagi gamelannya menggunakan gamelan Sunda. Jadi wayangnya Jawa, musiknya Sunda, dan bahasanya Betawi," kata dia.
Tak hanya untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisata, Bayu berharap dengan banyaknya kesenian Betawi langka yang ditampilkan di Setu Babakan ini dapat menambah wawasan masyarakat tentang khazanah budaya Indonesia yang sangat kaya.
"Dan tentunya untuk melestarikan kebudayaan-kebudayaan Betawi itu agar tidak punah," kata Bayu Permana.
Bak oasis
Salah seorang wisatawan, Marai Panjaitan mengaku takjub dengan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.
"Terakhir saya ke sini sepuluh tahun lalu belum semegah ini, sekarang fasilitasnya sangat lengkap," kata warga Sawah Besar, Jakarta Pusat itu.
Apalagi, lanjut Marai, paket wisata cukup memuaskan, dari museum dengan koleksi yang lengkap, pengenalan membatik khas Betawi, cara memasak sajian tradisional dodol Betawi, hingga menyaksikan kesenian Gambang Kromong.
Sementara itu, seorang wisatawan lainnya dari Pasar Baru, Jakarta, Yati Maemunah mengatakan Setu Babakan menjadi sesuatu yang berharga bagi dirinya yang asli Betawi ini.
"Selain di sini, saya tidak bisa menemukan tempat yang menyajikan wawasan tentang kebudayaan Betawi begitu lengkap sekaligus menjadi tempat melestarikannya di Jakarta ini," kata Yati.
Tinggal di Jakarta yang nadinya terus hidup dengan beragam aktivitas perekonomian membuat Yati kesulitan untuk menemukan tempat melepas dahaga mengenal kebudayaan nenek moyangnya.
Maka tak salah bila dia mengandaikan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan ini sebagai oasis di tengah metropolitan Jakarta.