Jika rencana amnesti bagi dirinya resmi disetujui DPR, ini akan semakin memuluskan langkah Baiq Nuril, ibu rumah tangga korban pelecehan seksual atasannya yang justru malah dipidanakan, untuk terbebas dari ancaman hukuman penjara dan membayar denda ratusan juta rupiah.
Agenda pengesahan rencana amnesti bagi Baiq Nuril Maknun ini mungkin akan menjadi agenda yang palin disoroti dalam Sidang Paripurna DPR RI pada hari Kamis (25/7/2019).
Pasalnya pertimbangan DPR ini menjadi syarat bagi Presiden Joko Widodo untuk memenuhi janjinya memberikan amnesti atau pengampunan kepada ibu rumah tangga asal NTB ini yang telah dinyatakan bersalah menyebarkan rekaman tindakan asusila oleh Mahkamah Agung.
"Kalau nanti sudah masuk meja saya, ada rekomendasi-rekomendasi dari kementerian-kementerian terkait, saya putuskan. Secepatnya. Akan saya selesaikan secepatnya," janji Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu.
Amnesti presiden ini menjadi harapan terakhir perempuan berusia 36 tahun itu untuk bebas dari ancaman pidana penjara 6 bulan dan denda Rp 500 juta yang dijatuhkan kepadanya.
Karenanya, ketika 10 fraksi di parlemen dalam Sidang Pleno Komisi III DPR RI pada Rabu (24/7/2019) secara aklamasi menyetujui rencana amnesti itu, Baiq Nuril menangis terharu mensyukuri keputusan tersebut.
"Saya hanya bisa mengucapkan terimakasih, terimakasih," kata Baiq Nuril tanpa mampu melanjutkan kalimatnya lantaran menangis terharu di hadapan wartawan di kompleks DPR.
Anggota Komisi VI DPR Rieke Diah Pitaloka yang giat mengawal advokasi Baiq Nuril berharap setelah resmi disetujui DPR Presiden Jokowi akan segera menerbitkan Keputusan Presiden yang mengesahkan amnesti bagi Baiq Nuril.
"Pak Jokowi saya yakin beliau tidak mau menunda-nunda masalah mengenai keadilan dan kemanusiaan." kata Rieke.
Preseden positif bagi perempuan dan anak
Sementara itu pakar hukum tata Negara, Bivitri Susanti menilai pemberian amnesti bagi Baiq Nuril ini akan menjadi preseden yang positif bagi upaya penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
"Kepres Amnesti ini adalah bentuk formal dari pernyataan politik seorang kepala Negara."
"Karenanya pesannya sangat kuat ketika sektor penegakan hukum khususnya Mahkamah Agung (MA), kejaksaan dan kepolisian belum mampu memberikan keadilan bagi perempuan yang terlibat kasus hukum seperti Baiq Nuril, Presiden sebagai Kepala Negara bisa 'mengambil alih' tugas menghadirkan keadilan." kata Bivitri Susanti.
Bivitri mengatakan amnesti bagi Baiq Nuril akan menjadi acuan jika terjadi kasus serupa di kemudian hari.
Bagi Bivitri ini masih sangat mungkin terjadi mengingat ketimpangan relasi gender di masyarakat masih besar.
"Karena cara pandang dari aparat penegak hukum kita yang masih belum memiliki perspektif misoginis atau gender."
"Jadi belum paham ada relasi yang belum setara yang juga harus dipertimbangkan."
"Dalam kasus Nuril misalnya, dia berhadapan dengan atasannya, jadi sebenarnya dia korban tapi konstruksi hukum membuat ia seakan-akan menjadi yang menyebarkan pesan dan dia malah yang jadi terdakwa."paparnya.
Pendapat serupa diungkapkan salah satu kuasa hukum Nuril Aziz Fauzi.
Ia mengatakan perempuan korban kekerasan seksual sangat rentan menjadi korban peradilan sesat seperti dialami kliennya.
Aziz Fauzi mengatakan keadilan yang akan diperoleh Baiq Nuril jika jadi menerima amnesti dari Presiden Jokowi dimungkinkan berkat kuatnya dukungan publik.
"Kalau tidak ada opini publik yang terbangun kuat, mungkin amnesti ini hal yang mustahil bagi orang kecil kayak ibu Nuril dan kami yang berasal dari pulau di Indonesia Timur."
"Bayangkan kalau ada masyarakat biasa lain seperti ibu Nuril sementara kasusnya tidak banyak yang mengetahui kasusnya, kan kasihan dia tidak bisa mengakses amnesti karena gak ada dorongan dari publik." kata Aziz Fauzi kepada kepada wartawan ABC Indonesia Iffah Nur Arifah di Jakarta.
Korban peradilan sesat
Kasus hukum yang menjerat Baiq Nuril Maknun berawal ketika pada 2017, ia merekam percakapan telepon dengan atasannya berinisial M, yang menjabat sebagai kepala sekolah di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 7 Mataram yang diklaim melecehkan dirinya.
Nuril lalu meminjamkan telepon genggamnya kepada rekannya bernama Imam Mudawin untuk menunjukan rekaman percakapan itu.
Oleh rekannya, rekaman percakapan itu disalin dan disebarkan ke bebarapa rekan di sekolah yang kemudan menjadi viral dan buntutnya, kepala sekolah M dimutasi.
Merasa dirugikan, M lalu melaporkan Nuril ke polisi atas tuduhan menyebarkan rekaman elektronik itu
Di Pengadilan Negeri Mataram, kasus ini ditolak, hakim menyatakan Nuril tidak bersalah dan dibebaskan.
Namun jaksa kemudian mengajukan kasasi yang kemudian diterima, majelis hakim kasasi menyatakan Baiq Nuril bersalah melakukan pelanggaran salah satu pasal UU ITE.
Hakim menjatuhkan sanksi 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta.
Tidak terima dengan putusan ini Baiq Nuril kemudian mengajukan PK pada awal Januari 2019, namun PK tersebut ditolak.
Majelis hakim MA menyatakan permohonan PK Nuril tidak memenuhi syarat, dan putusan kasasi MA telah sesuai menurut hukum.
Aziz Fauzi menegaskan kliennya adalah korban dari peradilan yang sesat.
Sejak awal Baiq Nuril tidak bersalah lantaran tidak melakukan pelanggaran UU ITE yang dituduhkan kepadanya .
"Secara materiil Bu Nuril itu hanya melakukan perbuatan konvensional yang tidak bisa dijerat oleh UU ITE."
"Karena dia hanya memberikan HP-nya, dia tidak melakukan transaksi elektronik, yang menghubungkan perangkat HP-nya dengan kabel data dan menggunakan jaringan internet untuk bertransaksi elektronik justru rekannya, Imam Mudawin, bukan dia." kata Aziz Fauzi.
Selain menggelar aksi solidaritas menuntut pembebasan Baiq Nuril, dukungan publik pada ibu tiga anak ini juga ditunjukan melalui penggalangan dana untuk membantu Baiq Nuril membayar denda sebesar Rp 500 juta.
Hingga kini dana yang terkumpul hanya kurang Rp 83 juta dari total dana yang ditargetkan yakni sebesar Rp 525 juta.
Ikuti berita menarik lainnya dari situs ABC Indonesia disini.