Kamis 25 Jul 2019 18:21 WIB

TGB Berkisah Hadapi Radikalisme dengan Pendekatan Keadilan

Tidak terpenuhinya keadilan bisa picu radikalisme.

Rep: Muhammad Nursyamsyi / Red: Nashih Nashrullah
Mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB)
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB)

REPUBLIKA.CO.ID, LOMBOK BARAT -- Pendekatan dan penanggulangan terhadap radikalisme tidak selalu dengan cara yang keras. Penanganan yang tepat dan menyentuh akar persoalan bisa menjadi jalan keluar. 

Termasuk antara lain memenuhi rasa keadilan di masyarakat. Pernyataan ini disampaikan Ketua Organisasi Internasional Alumni al-Azhar (OIAA) Indonesia, Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi, saat menjadi salah satu pembicara rapat koordinasi sinergisitas dan monitoring dan evaluasi (monev) hubungan antarlembaga pemerintah dalam rangka peningkatan kewaspadaan nasional di Hotel Jayakarta, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), Kamis (25/7). 

Baca Juga

"Ini berdasarkan beberapa kali pengalaman ketika saya menangani salah satu pondok pesantren," ujar TGB, begitu akrab disapa.

TGB menceritakan saat menjadi gubernur NTB pada periode 2008 hingga 2018, kasus radikal selalu diidentikkan dengan Bima, salah satu wilayah NTB yang berada di Pulau Sumbawa. 

Menurut TGB, stigma tersebut sangat tidak baik dan seolah bentuk ketidakberdayaan. "Saya pun minta carikan saya pondok paling radikal," kata TGB. 

Hingga akhirnya, lanjut TGB, ada sebuah pondok di pelosok Bima, di mana dia berdialog dengan pengasuh pondok. Dalam perbincangan tersebut TGB mengisahkan alasan pesantren tak mau menaikkan bendera adalah bentuk perlawanan pada pemerintah. 

Ustaz di pondok tersebut merasa mendapatkan perlakuan yang kurang adil. "Ada pondok bagus, padahal dua atau tiga tahun berdiri. Pondok itu mendapat dana aspirasi, sehingga bisa dibangun. Sementara pondok yang dipimpinnya, jangankan bangunan, jalan saja tak diperbaiki. Bahkan, ustaz di pondok ini dijauhi tokoh yang ada," ucap TGB. 

Di saat bersamaan, lanjut TGB, ustaz ini menyatakan kebanggaannya karena salah satu muridnya menjadi pengibar bendera di Kantor Gubernur NTB. 

"Nah, di sini tidak naikkan bendera, tapi mendukung muridnya jadi pengibar. Akhirnya kami semua mengajak dari mushala ke tengah pondok mengibarkan bendera," lanjut TGB. 

TGB pun meminta jajarannya yang ikut ke Bima menanyakan apa yang menjadi kebutuhan pondok. Kemudian segera memenuhi dan melengkapi. "Butuh kendaraan operasional, saya minta segera berikan. Ini bisa diketahui setelah ada komunikasi," kata TGB. 

Selama menjadi Gubernur NTB, TGB bermitra dengan Polda NTB, Korem, Kejaksaan, dan Badan Intelijen Daerah (Binda) untuk menghadapi radikalisme. Ada pihak-pihak yang menghadapi radikalisme, menggunakan tafsiran yang paling mudah. Tidak mau susah payah mencari tahu di lapangan. 

Di NTB, kata TGB, bicara radikalisme tak bisa pendekatan keras. "Lihat kasus tiap kasus di daerah soal SDA, tak bisa hanya khutbah," ungkap TGB. 

TGB menyampaikan setidaknya ada tiga faktor yang selalu muncul dan menjadi pemicu radikalisme, yakni keagamaan, perebutan sumber daya alam (SDA), dan penegakan hukum yang belum optimal. 

"Tidak ada fenomena sosial yang faktornya tunggal. Dengan pendekatan bersama itu masuk, relatif selama dua periode (gubernur) lebih cair," tambah TGB. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement