Hampir separuh dari generasi milenial, dalam sebuah studi terbaru, yakin teknologi baru akan memperbesar lapangan kerja mereka. Sementara itu, kecakapan teknologi ternyata dianggap belum cukup untuk memperbesar lapangan kerja, utamanya di Indonesia. Milenial di negara ini dituntut untuk berpikir unik demi mewujudkan ambisi tersebut.
Milenial Indonesia lebih dipandang senang mengikuti tren dan banyak fokus pada lahan domestik.
Padahal, generasi ini adalah kunci dari kesuksesan Indonesia dalam memanfaakan bonus demografi yang akan terjadi dalam 6 tahun mendatang.
CEO General Electric Indonesia, Handry Satriago, mengatakan milenial harus mampu bertanya dan berani mencari keunikan.
"Satu hal yang saya rasakan sebagai kekhawatiran, sejauh ini, adalah mereka sangat senang ikut-ikutan. So one people doing this, semuanya ikut-ikutan.
"Dan tidak mencari keunikan dan levelnya adalah dalam negeri, domestik."
"Nah kita butuh naik kelas untuk itu, kita butuh untuk how can we compete in the global world?," ujarnya kepada ABC di sela-sela Forum Pembangunan Indonesia (IDF) di Jakarta, awal pekan ini.
Ketika milenial bertanya, sebut Handry, mereka akan punya kemampuan lebih.
"Ketika mereka tidak bertanya dan ikut-ikutan, satu jualan jilbab semuanya jualan jilbab, dan lalu kita mengalami pengurangan harga."
Pria berkursi roda ini juga menyayangkan sistem pendidikan di Indonesia yang, menurutnya, belum mampu mencetak calon pemimpin global.
"Dan itu bisa dilihat dari indeks kompetitif global. Tiap tahunnya Indonesia masih berada di posisi bawah."
Kemampuan milenial ini, kata Handry, erat kaitannya dengan prospek bonus demografi Indonesia yang diperkirakan terjadi selama periode 2025-2030.
"Kalau bonus demografi masih berada di level keahlian rendah hingga menengah, maka kita masih akan menjadi obyek globalisasi. Kita tidak akan menjadi subyek globalisasi.
"Kita tidak mendapatkan manfaat maksimal dari bonus demografi kita."
Karena itu, CEO yang telah berkiprah di dunia bisnis sejak lebih dari dua dekade ini mengatakan para pemangku kepentingan di sektor ekonomi Indonesia perlu mendukung dan mencetak sekolah kejuruan.
Sekolah ini, menurutnya, akan melahirkan generasi yang punya keahlian dan terdidik secara spesifik dalam pekerjaan masa depan.
"Karena banyak perusahaan akan berubah pesat dalam 5-10 tahun mendatang. Kita akan punya 3D creators (pencetak tiga dimenasi) yang merevolusi aktivitas manufaktur, yang membutuhkan kemampuan mendesain ulang."
"Kita belum memiliki kemampuan itu saat ini. Padahal kita punya potensi."
Handry lantas mencontohkan sebuah perusahaan di Salatiga, Jawa Tengah.
"Mereka fokus di desain, mereka merekrut orang dari SMK (sekolah menengah kejuruan), mereka mendidik orang yang bukan lulus dari universitas untuk mendesain yang bisa terhubung dengan industri manufaktur dan mereka mengekspornya."
"Kita butuh lebih banyak perusahaan seperti ini," paparnya kepada ABC.
Di sisi lain, generasi milenial juga disebut sebagai pencetak lapangan kerja terbesar. Namun pemerintah disebut tidak boleh lengah dan harus segera memetakan bagaimana potensi mereka dan mengakselerasinya.
Pemerintah Indonesia harus memahami 'idea-based economy' yang menjadi aspirasi kaum milenial.
"Dan menurut saya itu sejalan dengan kebutuhan Indonesia ke depan di mana kita harus lebih mengedepankan idea-based economy bukan cuma sekedar komoditi atau sumber daya alam dan sebagainya," kata Ricky Joseph Pesik - Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) ketika ditemui di ABC di forum yang sama (22/7/2019).
Di bawah generasi milenial, tutur Ricky, ada perubahan paradigma dari model bisnis lama ke model bisnis baru.
“Misalnya kaya di kuliner, saya kasih contoh, modelnya kan berubah di bawah milenial ini, di mana mereja bahkan sudah seperti start up kan gayanya.”
"Kita lihat kopi kenangan, fore, upnormal, kopi tuku, akan muncul hal-hal baru seperti inilah."
Teknologi perbesar lapangan kerja
Dalam Survei Milenial Global 2019 yang dilakukan perusahaan akuntan publik, Deloitte, sebanyak 49 persen milenial disebut yakin bahwa teknologi baru akan memperbanyak lapangan kerja mereka. Sementara hanya 15 persen milenial yang khawatir teknologi baru akan mengganti keseluruhan atau sebagian pekerjaan mereka.
Survei Deloitte ini dilakukan terhadap 13.416 milenial di 42 negara di dunia dan terhadap 3009 Gen Z dari 10 negara.
Temuan menarik lain dari studi ini juga mengungkap, hanya sekitar satu dari lima responden percaya bahwa mereka memiliki keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk mewujudkan Industri 4.0.
Sementara 70 persen mengatakan mereka mungkin hanya memiliki sedikit keterampilan yang diperlukan dan perlu mengembangkan kemampuan mereka sendiri. untuk meningkatkan nilai mereka.
Milenial juga menunjukkan bahwa mereka tak malu untuk melakukan pekerjaan lepas atau pekerjaan berbasis kontrak.
Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.