REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS) mengatakan pemerintah federal akan kembali melakukan eksekusi mati terhadap para terpidana pada Kamis (25/7). Itu adalah pertama kalinya eksekusi mati dilakukan sejak 2003, yang sekaligus mengakhiri moratorium informal, saat negara itu sedang melihat perubahan besar terkait hukuman mati.
Jaksa Agung AS William Barr juga telah memberi instruksi kepada Biro Penjara untuk menjadwalkan eksekusi yang hendak dimulai pada Desember mendatang. Para terpidana yang akan dieksekusi mati terdiri atas lima pria, yang seluruhnya mendapat tuduhan dalam kasus pembunuhan anak-anak.
Selama ini, hukuman mati masih berlaku di 30 negara bagian AS. Meski demikian, eksekusi di tingkat federal sangat jarang dilakukan.
"Departemen Kehakiman menegakkan hukum dan kami berhutang kepada para korban dan keluarga mereka untuk meneruskan hukuman yang dijatuhkan oleh sistem peradilan kami," kata Barr dalam sebuah pernyataan, dilansir Idahostatesman, Jumat (26/7).
Hukuman mati yang dijatuhkan di tingkat federal AS kali ini diyakini dapat memicu pertentangan dalam pemerintahan negara itu. Banyak anggota parlemen dari Demokrat yang selama ini telah menentang hukuman mati. Bahkan, Wakil Presiden Joe Biden juga menyerukan penghapusan hukuman mati, setelah bertahun-tahun pernah mendukung hal itu.
Sebaliknya, Presiden AS Donald Trump berkeyakinan bahwa eksekusi berfungsi sebagai pencegah yang efektif dan menjadi hukuman yang sesuai untuk beberapa kasus kejahatan tertentu. Di antaranya adalah terhadap pelaku penembakan massal, serta pembunuhan terhadap polisi dan aparat keamanan lainnya.
“Saya pikir hukuman mati dapat dibawa kembali dalam sistem,” ujar Trump pada tahun lalu, dalam pidato setelah insiden penembakan 11 orang di Pittsburgh.
Trump juga berulang kali menyarankan agar AS mengadopsi aturan yang keras terkait narkotika seperti yang dilakukan oleh Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Tindakan keras terhadap pelaku kejahatan narkotika di Asia Tenggara itu telah memicu kontroversi karena ribuan tersangka meninggal dalam perburuan.
Jauh sebelum menjabat sebagai presiden, Trump dikenal sebagai pendukung vokal hukuman mati selama beberapa dekade. Seperti pada 1989, ketika ia mengeluarkan iklan dalam satu halaman penuh di sebuah surat kabar di New York untuk menuliskan Bring Back the Death Penalty atau bawa kembali hukuman mati, menyusul adanya kasus pemerkosaan terhadap seorang pelari di Central Park.
“Jika hukuman yang diberikan sangat berat, makan serangan terhadap orang-orang tak bersalah tidak akan terjadi lagi,” tulis Trump dalam iklan tersebut.