REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pihak istana kepresidenan ikut menanggapi kejadian yang menimpa Dokter Gigi Romi Syofpa Ismael dari Solok Selatan, Sumatra Barat yang ditolak jadi CPNS pada seleksi 2018 lalu. Nama Romi dicoret lantaran dianggap tidak memenuhi syarat untuk formasi umum karena yang bersangkutan tidak sehat secara fisik.
Kepala Staf Presiden, Moeldoko, menegaskan bahwa pemerintah harus berkomitmen mengakomodir kepentingan penyandang disabilitas seperti dokter Romi. Hal ini, ujarnya, sejalan dengan semangat yang digaungkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mendukung difabel.
"Semangat presiden untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan disabilitas sangat jelas. Bahkan di KSP sendiri ada difabel yang kita akomodasi. Di depan hukum kita punya hak yang sama. Jangan dibeda-bedakan," kata Moeldoko di kantornya, Jumat (26/7).
Moeldoko menyebut, justru pemerintah pusat dan daerah harus bersinergi untuk menyediakan fasilitas bagi penyandang disabilitas, baik masyarakat umum atau pegawai pemerintah. Alur pemikiran yang harusnya dibangun, ujar Moeldoko, adalah penyediaan sarana dan prasarana agar difabel bisa menjalankan kebutuhannya. Bukan sebaliknya, menolak difabel lantaran fasilitasnya belum tersedia.
"Jangan beralasan karena enggak ada sarana prasarananya, terus menolak. Itu berpikir yang terbalik," kata Moeldoko.
KSP, melalui Kedeputian V, saat ini ikut turun tangan mengusut kasus yang menimpa dokter Romi. Moeldoko menegaskan bahwa difabel memiliki hak yang sama sebagai warga negara untuk meraih prestasi.
Dokter gigi Romi sebelumnya sudah bekerja sejak 2015 lalu sebagai pegawai tidak tetap (PTT) dari Kementerian Kesehatan. Begitu kontrak PTT itu habis, pengabdian Romi dilanjutkan sebagai tenaga honorer lepas Pemkab Solsel.