Jumat 26 Jul 2019 23:03 WIB

Mantan Napiter Dilibatkan Tangkal Radikalisme di Lamongan

Peristiwa bom Bali 1 melibatkan satu pelaku yang merupakan warga lamongan.

Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A High Risk Pasir Putih untuk Narapidana Teroris Kelas Berat. Lapas ini diproyeksikan untuk menjadi Lapas dengan Super Maximum Security untuk menahan para narapidana yang memiliki potensi dan pengaruh jaringan terorisme. Nusakambangan, Jumat (22/12).
Foto: Republika/Arif Satrio Nugroho
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A High Risk Pasir Putih untuk Narapidana Teroris Kelas Berat. Lapas ini diproyeksikan untuk menjadi Lapas dengan Super Maximum Security untuk menahan para narapidana yang memiliki potensi dan pengaruh jaringan terorisme. Nusakambangan, Jumat (22/12).

REPUBLIKA.CO.ID, LAMONGAN -- Puluhan mantan narapidana terorisme (napiter) yang tergabung dalam Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP) dilibatkan dalam menangkal peredaran paham radikal di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Kapolres Lamongan AKBP Feby Hutagalung di Lamongan, Jumat (26/7), mengatakan setelah bom Bali 1 yang pelakunya merupakan warga Lamongan, penyebaran paham itu kini di Lamongan tidak signifikan.

Namun, polisi tetap berupaya dengan menggandeng seluruh pemangku kepentingan atau tokoh masyarakat, termasik mantan napiter. "Ada Yayasan Lingkar Perdamaian yang didirikan BNPT di mana itu cukup efektif menggandeng mantan napiter untuk direkrut bergabung sehingga mereka terakomodasi dalam satu komunitas," tutur Feby.

Adanya wadah yang bersifat kekeluargaan diyakini membawa pencerahan dan pemberian wawasan kebangsaan yang cukup efektif sehingga terjadi perubahan pandangan. "Salah satu tujuannya menjauhkan mantan anggota dari sifat destruktif," ucap Feby.

Meski begitu, Feby menyebut terdapat daerah rawan yang terus diawasi untuk mencegah adanya aksi amaliah. "Kekhususan tidak bisa saya sebut. Memang ada beberapa yang rawan dan masuk pantauan dari kami dan Densus 88," ucap dia.

Total sebanyak 42 mantan napiter serta anggota organisasi radikal bergabung dengan YLP. Bahkan pada 17 Agustus 2018, semuanya mau terlibat dalam upacara, baik sebagai peserta mau pun petugas.

"Luar biasa mantan napiter awalnya dalam pikirannya Pancasila dianggap kafir, tidak sesuai pemahaman mereka, secara perlahan dengan adanya pengarahan dan bimbingan, mau melajutkan penghormatan dan menjadi petugas upacara. Meski prosesnya cukup panjang," tutur Feby.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement