REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menciduk kepala daerah pada Jumat (26/7). Kali ini, Bupati Kudus Muhammad Tamzil dan delapan orangnya lainnya terjaring operasi tangkap tangan (OTT). Tamzil ditangkap kearena diduga menerima suap jual beli jabatan senilai Rp 250 juta.
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menilai, maraknya kepala daerah kerap korupsi didasarkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktor dominannya adalah biaya politik yang mahal.
“Menjadi kepala daerah itu biayanya tidak sedikit, sehingga saat dia sudah menjadi kepala daerah dia berusahan keras untuk mengembalikan uang yang telah dipakai berkampanye tersebut,”ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Jakarta, sabtu (27/7)
Faktor selanjutnya menurutnya adalah faktor internal pelaku. Ia menagtakan, orang yang melakukan pratik koruptif sebenarnya bukan berdasarkan kebutuhan melainkan karena sifat tamak atau rakus.
“Faktor kedua adalah tamak, gaya hidup yang tinggi, merasa ingin dihormati dan dihargai. Setiap datang ke masyarakat inginnya memberi terus. Ini lah yang membuat mereka mencari uang dengan cara yang tidak pantas, seperti korupsi,”katanya.
Untuk mencegah rentetan daftar panjang pejabat daerah yang korupsi, ia berpendapat, berbagai pihak perlu meningkatkan pengawasan. Terutama, ujarnya, KPK pun perlu melipat gandakan penindakan terhadap pelaku–pelaku korupsi.
“Pertama mereka harus benar–benar disumpah agar tidak melakukan korupsi. Semua pihak, mulai inspektorat pemda, DPRD, KPK sampai masyarakat perlu meningkatkan pengawasan,”tuturnya.
Untuk diketahui, ini bukan kali pertama Tamzil menginjakkan kakinya di lubang yang sama. Pada saat menjabat Bupati Kudus tahun 2003 – 2008 melakukan korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan Kabupaten kudus tahun anggaran 2004 -2005. Namun, kasusnya baru ditindak tahun 2014.