Ahad 28 Jul 2019 10:09 WIB

Mayoritas Kasus Kekerasan Anak Sumbar dari Keluarga Miskin

Kasus kekerasan anak di Sumbar terus meningkat angkanya.

Rep: Febrian Fachri/ Red: Indira Rezkisari
Ilustrasi Kekerasan Terhadap Anak
Foto: pixabay
Ilustrasi Kekerasan Terhadap Anak

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Ketua Lembaga Perlindungan Anak  (LPA) Provinsi Sumatera Barat Ery Gusman menjabarkan data kasus kekerasan terhadap anak termasuk jenis kasus kekerasan seksual terhadap anak. Angkanya meningkat sejak tahun 2016.

Ery menyebutkan catatan LPA, tahun 2016 terjadi 57 kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan ke Komnas Perlindungan Anak. Sebanyak 42 persen dari jumlah tersebut merupakan kejahatan seksual.

Baca Juga

Pada 2017, jumlahnya meningkat menjadi 117 kasus, dengan 58 di antaranya kejahatan seksual. Rekap data terakhir tahun 2018 terjadi 102 kasus kekerasan terhadap anak dengan kejahatan seksial sebanyak 62 persen.

"82 persen korban berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah. 53 kasus pelakunya adalah anak di bawah umur 14 tahun," kata Ery di Padang saat mengisi Talk Show Peringatan Hari Anak Nasional di Aula Rumah Sakit Umum Pemerintah (RSUP) M Djamil Padang, Sabtu (27/7).

Ery melanjutkan pelaku kekerasan ternadap anak terbagi di empat lingkungan. Pertama di lingkungan rumah, pelaku adalah ayah kandung atau ayah tiri, kakak, paman, tukang kebun, sopir jemputan dan kerabat dekat keluarga.

Di lingkungan sekolah, pelakunya adalah guru reguler, guru spiritual, penjaga sekolah, pihak keamanan sekolah, tukang kebun sekolah dan pengelola sekolah.

Sementara di lingkungan sosial pelaku biasanya adalah tetangga, pedagang keliling dan teman sebaya. Ada juga di lingkungan panti atau boarding school dengan pelaku pegelola panti dan pengasuh.

Ery menilai penegakan hukum  terhadap kejahatan seksual terhadap anak belum menunjukkan keberpihakan  terhadap anak sebagai korban. Ia melihat aparat penegak hukum masih mengunakan kaca mata kuda dalam menangani perkara kejahatan dan kekerasan seksual terhadap anak.

"Putusan Hakim dalam perkara kejahatan seksual masih belum mencerminkan rasa keadilan bagi korban," ujar Ery.

Salah satu fakta kata Ery yang menunjukkan bahwa masih banyak hakim memutuskan bebas dan hukuman minimal bagi para pelaku kejahatan seksual terhadap yang dilakukan orang dewasa. Seperti apa yang pernah terjadi di beberapa pengadilan di Sumatera Barat dengan alasan tidak cukup bukti. Sementara UU RI. No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak mensyaratkan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun.

Ery kemudian menyebutkan beberapa faktor penyebab kejahatan seksual terhadap anak. Pertama, merajalelanya pengaruh tontonan pornografi dan porno-aksi yang mudah diakses masyarakat.

Kedua, pornografi dan porno aksi  telah menjadi adiksi dan penyakit yang harus disembuhkan bagi pelanggannya. Ketiga, runtuhnya ketahanan keluarga atas nilai-nilai agama, sosial, etika moral serta degradasi nilai solidaritas antar sesama. Kemudian ke empat pengaruh gaya hidup yang tidak diimbangi dengan kemampuan  ekonomi. Selanjutnya karena budaya permisif, budaya meniru dan sikap feodal.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement