REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia memberikan sinyal akan kembali melanjutkan pelonggaran kebijakan moneter. Adapun ruang pelonggaran moneter terlihat dari Bank Sentral Amerika Serikat yakni Federal Reserve (The Fed) memberikan sinyal kuat pelonggaran kebijakan moneter ke depan atau dovish.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan pihaknya telah melakukan pelonggaran kebijakan moneter yang akomodatif pada tahun ini. “Kami sudah memberikan guidance dan cukup jelas, pelonggaran kebijakan moneter masih akan berlanjut,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Ahad (28/7).
Pekan lalu Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,75 persen. Menurutnya keputusan ini diambil karena melihat tanda-tanda pelonggaran kebijakan moneter dari Bank Sentral AS.
Meski The Fed belum menurunkan suku bunga acuannya, Bank Indonesia menyakini pelonggaran kebijakan moneter akan diambil AS. “Kalau AS statementnya hawkish, kita sulit melakukan pelonggaran. Tapi kan sudah dovish,” ucapnya.
Kondisi dovish tersebut, kata Mirza, terlihat dari Australia yang sudah menurunkan bunga acuan dua kali tahun ini. Begitu pula dengan India, Malaysia dan Filipina. Indonesia pun kemudian merespon supaya tidak semakin berdampak ke pertumbuhan ekonomi dan memanfaatkan pelonggaran suku bunga global. Mirza turut meyakini bahwa optimisme terhadap ekonomi sudah lebih baik di semester II nantinya.
"Kita sudah selesai pemilu, suku bunga sudah turun, biasanya itu akan bangkitkan optimisme untuk meningkatkan aktivitas ekonomi," jelasnya.
Mirza menambahkan pelonggaran kebijakan moneter yang bisa dilakukan Bank Indonesia nantinya tak hanya dari suku bunga acuan. Namun dapat pula dari sisi Giro Wajib Minimum (GWM) atau kebijakan makroprudensial yang akomodatif.
"Berapa persen kira-kira penurunannya? Saya tidak bisa jawab itu. Tapi yang bisa saya jawab adalah kita masih punya ruang untuk kelonggaran kebijakan moneter yang lebih lanjut," ungkapnya.
Di sisi lain, Mirza pun menyatakan kondisi ekonomi global yang sangat dipengaruhi perang dagang AS-China diprediksi tidak akan bertahan lama. Dia memprediksi motif perang dagang ini adalah agenda politik Presiden AS terutama retorika tentang anti migran, impor luar Amerika, yang menjadi instrumen untuk motif politik menghadapi 2020.
“Ini bukan fenomena permanen bagi ekonomi global. Tapi kemudian ini akan ada pada 2020 karena Pemilu baru November,” ungkapnya.
Mirza menyebut perang dagang bisa dimanfaatkan Indonesia untuk menangkap peluang beralihnya investasi asing yang ke China. “Investasi itu beralih ke negara lain dan bagaimana kita menangkap diversifikasi dari investasi Tiongkok ke luar dari China,” ucapnya.
Menurutnya saat ini akibat perang dagang dua negara tersebut mampu menarik peluang investasi masuk ke Vietnam dan Thailand. Oleh sebab itu Indonesia pun harus bisa menangkap peluang itu.
“Kami mendorong upaya investasi dengan menaikkan volume ekspor melalui perjanjian bilateral multilateral dengan berbagai negara. Kini tinggal eksekusinya tapi perlu koordinasi antara pusat dan daerah, kementerian dan lembaga,” ucapnya.