Ahad 28 Jul 2019 16:29 WIB

Petani: Harga Garam Lokal Sulit Berkompetisi dengan Impor

Garam petani dibanderol sebesar Rp 600 per kilogram oleh perusahaan pengolahan.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nidia Zuraya
Petani memanen garam di areal tambak garam rakyat Desa Kedungmutih, Wedung, Demak, Jawa Tengah, Senin (8/7/2019).
Foto: Antara/Aji Styawan
Petani memanen garam di areal tambak garam rakyat Desa Kedungmutih, Wedung, Demak, Jawa Tengah, Senin (8/7/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI) menyatakan sulit bagi petani garam rakyat menyaingi harga garam impor. Sebab selain kadar NaCl alami garam lokal berbeda dengan garam impor, infrastruktur pengolahan garam lokal belum tersedia.

Ketua APGRI Jakfar Sodikin mengatakan, garam petani yang akan digunakan ke sektor industri perlu melalui pengolahan terlebih dahulu sebagai proses penyesuaian kebutuhan industri. Pada fase ini, garam petani dibanderol sebesar Rp 600 per kilogram (kg) oleh perusahaan pengolahan.

Baca Juga

“Jadi dengan harga sebesar itu (Rp 600 per kg), masih ada cost produksi lagi di perusahaan pengolahan. Sedangkan kalau garam impor, itu rata-rata Rp 750 per kg sudah bisa langsung dipakai industri,” kata Jakfar saat dihubungi Republika, Ahad (28/7).

Belum adanya infrastruktur produksi pengolahan garam dinilai menjadi salah satu kendala harga garam lokal belum kompetitif jika dibandingkan garam impor. Dia juga menyebut, saat ini biaya produksi di hulu seperti lahan dan tenaga kerja pun umumnya tidak dikalkulasikan petani sebagai bagian dari biaya produksi.

Dia menambahkan, saat ini pemerintah belum memberikan fasilitas infrastruktur pengolahan garam yang dapat sesuai dengan pengolahan garam untuk industri. Sebab, menurut dia, apabila pembuatan infrastruktur pengolahan dibebankan ke petani kemungkinan besar petani hal itu sulit dipenuhi.

“Untuk membuat satu perusahaan pengolahan saja, itu butuh biaya kira-kira Rp 10 miliar. Petani nggak mampu,” kata dia.

Di samping minimnya akses infrastruktur yang dapat menekan biaya produksi garam, menurut dia penyerapan garam rakyat oleh industri juga belum maksimal.

Dia mencontohkan, sejak terbitnya Peraturan Menteri Pertanian (Permenperin) Nomor 88 Tahun 2014 tentang Peta Panduan Pengembangan Klaster Industri Garam, porsi garam rakyat ke sektor industri makin menyempit. Garam rakyat hanya diberikan volume penyerapan sebesar 700 ribu ton untuk konsumsi.

Dalam beleid itu juga disebutkan, sektor aneka pangan, penyamakan kulit, pakan ternak, tekstil, pabrik es, serta pengeboran minyak diklasterkan sebagai bagian dari industri. Sehingga porsi peneyerapan garam rakyat dinilai semakin tertutup, padahal dahulu sektor aneka pangan garamnya disuplai oleh garam rakyat.

“Jadi ini bukan permasalahan kualitas seperti yang digaung-gaungkan, soal harga saja. Sebetulnya kalau mau dan diseriuskan, garam rakyat bisa dipakai industri,” kata dia.

Kendati demikian dia menegaskan, penyetopan garam impor secara keseluruhan juga kurang tepat. Karena selain masih butuh banyak pembenahan di sektor produksi hal itu membuat garam rakyat belum sepenuhnya dapat menyuplai kebutuhan industri.

Salah satu sektor industri, kata dia, yang masih membutuhkan garam impor adalah industri farmasi dan kesehatan.

Terkait dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) garam rakyat, idealnya HPP tersebut berkisar Rp 700-Rp 800 per kg. Menurut dia HPP tersebut penting untuk diatur guna menjaga stabilitas harga garam ditingkat petani.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Brahmantya Satyamurti Poerwadi mengatakan, pemerintah sudah berupaya melakukan pembenahan dan pembinaan petani garam.

Menurut dia, semakin kering garam maka kualitas garam rakyat akan semakin tinggi. Secara kualitas, garam rakyat kondisinya sudah cukup baik berdasarkan laporan dari sejumlah petani yang ada.

“Menurut petani, kalau fasilitas biomembrannya diperbanyak, kualitas juga bisa semakin bagus,” kata dia.

Hanya saja dia menegaskan, kemampuan penyerapan garam rakyat oleh industri sebenarnya bukan terpacu semata-mata hanya karena kualitas. Akan tetapi karena pertimbangan harga jika dibandingkan dengan garam impor.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement