REPUBLIKA.CO.ID, oleh Lilis Sri Handayani
Kepedulian Sutarjo (50) terhadap lingkungan bermula saat dirinya membaca tentang global warming dan efek negatifnya yang menjadi ancaman bagi dunia. Pria yang berprofesi sebagai guru di SMP Unggulan Indramayu itu pun tergerak untuk berbuat sesuatu guna turut mengatasi kondisi tersebut. Salah satunya dengan membersihkan polusi udara.
Sebagai seorang guru Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Sutarjo mengetahui secara teori bahwa air kapur yang bercampur dengan zat karbondioksida (CO2) akan membentuk endapan kalsium karbonat. Untuk itu, dia pun melakukan percobaan membuat alat penyerap polusi udara yang diberinya nama Sarana Penyerap Polutan Udara, Jaga Gangguan dan Dampaknya (Sappu Jagad) pada 2009 silam.
Sistem kerja dari Sappu Jagad itu sangatlah sederhana. Caranya, air ditaruh di dalam kotak. Setelah itu, sediakan kipas kecil untuk menyerap polutan yang ada di udara. Di dalam kontak itu, polutan dan air kapur tersebut mengkristal. Percobaan itu tak hanya dilakukan di lingkungannya, tapi di sejumlah ruas jalan saat dirinya mudik lebaran ke Semarang.
Di sepanjang jalan dari Indramayu menuju Semarang yang penuh polusi, ternyata kristal yang terbentuk bukannya berwarna putih. Namun, berwarna coklat kehitaman.
"Berarti yang terserap bukan hanya CO2, tapi juga debu dan kotoran yang ada di udara," kata Sutarjo, saat ditemui Republika di sela peringatan Hari Mangrove Internasional di pantai mangrove Desa Pabean Udik, Kecamatan/Kabupaten Indramayu, Ahad (28/7).
Kesimpulan yang diperoleh Sutarjo pun semakin dikuatkan oleh tes laboratorium yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2012. Dari hasil uji lab itu terungkap bahwa di dalam kristal tersebut juga terkandung sejumlah zat berbahaya lainnya, seperti merkuri, zat besi, cadmium, stronsium dan flour.
Tak hanya itu, kristal-kristal air kapur yang mengandung polutan tersebut ternyata masih bisa dimanfaatkan. Yakni, sebagai pupuk cair yang menyuburkan tanaman non pangan.
"Kristal itu dilarutkan dulu dalam air, kemudian disiramkan pada akar tanaman. Ingat, disiramnya di bagian akarnya. Itu bisa menyuburkan tanaman," tukas Sutarjo.
Tak hanya menciptakan Sappu Jagad, kepedulian Sutarjo pada lingkungan juga terus berlanjut. Dia pun menggerakkan para siswanya untuk cinta limbah dengan Gerakan Siswa Cinta Limbah. Caranya, para siswa diminta memanfaatkan air bekas cucian beras, daging dan sayur untuk menyiram tanaman di rumah masing-masing.
"Jadi kegiatannya di rumah siswa masing-masing, bukan di sekolah. Itu bisa menghubungkan antara pendidikan dengan masyarakat," terang Sutarjo.
Selain itu, Sutarjo juga mengolah limbah cucian piring, baju dan sisa mandi menjadi nutrisi hewan. Meski limbah itu mengandung sabun, setelah diolah dengan sistem fermentasi, berubah menjadi nutrisi yang tidak berbahaya bagi hewan.
"Hasilnya kita berikan ke peternak kambing dengan gratis," tutur Sutarjo.
Sutarjo juga terus menggalakkan gerakan menabung oksigen dengan menggunakan kertas bekas. Caranya, kertas bekas itu dijadikan sebagai pupuk tanaman sehingga tanaman bisa tumbuh subur dan menghasilkan oksigen.
"Dengan menanam tanaman, sama artinya dengan menabung oksigen," tukas Sutarjo.
Tak hanya itu, Sutarjo pun membuat pupuk kompos dari daun-daunan. Hanya dalam waktu sepekan, pupuk kompos siap digunakan sebagai penyubur tanaman.
Semua kiprah dan kepedulian Sutarjo itu pun mendapat apresiasi dari pemerintah. Bahkan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, menganugerahinya penghargaan Kalpataru saat peringatan Hari Lingkungan Hidup di Jakarta pada 10 Juli 2019.
Meski Kalpataru sudah diperoleh, Sutarjo mengaku tak akan berhenti untuk terus mengabdikan hidupnya pada upaya pelestarian lingkungan. Dia bertekad akan terus berbuat sesuatu bagi lingkungan dan masyarakat.