Senin 29 Jul 2019 10:24 WIB

Defisit Migas Diprediksi Tembus 10 Miliar Dolar AS

Kunci mengatasi defisit migas adalah meningkatkan produksi dalam negeri.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Ilustrasi Kilang Minyak
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Kilang Minyak

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Tauhid menilai, defisit migas pada dasarnya tidak dapat dihindari oleh Indonesia. Sebab, kebutuhan migas jauh lebih tinggi dibandingkan produksi. Khususnya sejak 2008 hingga saat ini.

Tauhid mencatat, puncak defisit migas terjadi pada 2014, yaitu 13,4 miliar dolar AS. Sementara itu, pada Januari-Juni 2019, defisit tersebut mencapai 4,78 miliar dolar AS atau turun 14,88 persen dibanding dengan periode yang sama pada tahun lalu, 5,61 miliar dolar AS.

Baca Juga

Meski demikian, Tauhid memproyeksikan defisit sampai akhir tahun ini akan terus tumbuh. Prediksi ini seiring dengan kebutuhan bulanan yang besar. "Diperkirakan defisit migas hingga akhir tahun 2019 akan tembus di atas 10 miliar dolar AS," ujarnya dalam diskusi daring, Ahad (28/7). 

Artinya, Tauhid menambahkan, defisit ini akan semakin terus terjadi sepanjang produksi migas kita tetap rendah, sementara kebutuhan terus meningkat. Kebutuhan ini diiringi dengan makin besarnya pertumbuhan penduduk, baik pemanfaatan untuk kendaraan bermotor, rumah tangga, maupun industri.

Perkembangan impor migas sebenarnya lebih dominan pada nilai impor dibandingkan volume impor. Hal ini terlihat bahwa volume impor tetap pada angka 49 juta-50 juta ton pada periode 2013 hingga 2018. Tapi, nilai impornya sangat bervariasi, dimana pada 2013, nilai impor berada pada 45,26 miliar dolar AS menjadi 29,8 miliar dolar AS pada tahun lalu.

Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa faktor harga minyak mentah (dolar AS/barel) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menjadi faktor penentu naik turunnya nilai impor. Pada gilirannya, poin ini menjadi faktor penentu defisit migas dapat melonjak naik maupun turun.

Tauhid menilai, apabila pada 2019 diproyeksikan harga minyak mentah hanya bergeser sebesar 66-67 dolar AS per barrel dengan volume impor yang stabil pada kisaran 50 juta ton, nilai impor migas pada 2019 akan mencapai 47 miliar-48 miliar dolar AS. 

"Naik sedikit dibandingkan tahun 2018 yang sebesar 47,04 miliar dolar AS," tuturnya.

Untuk menekan defisit tersebut, salah satu kunci yang disebut Tauhid adalah meningkatkan produksi dalam negeri. Namun, upaya ini tampaknya masih butuh waktu panjang mengingat lelang blok migas dalam periode 2015-2016 tidak ada yang laku.

Sementara itu, pada 2017-2019 telah laku 16 blok dengan metode gross split. Namun, seluruh blok tersebut baru akan bisa berproduksi minimal tujuh tahun sejak eksplorasi dimulai. 

"Apalagi, belum tentu seluruh blok tersebut dapat menghasilkan mengingat terdapat peluang gagal juga," katanya.

Untuk jangka menengah, Tauhid menganjurkan pemerintah untuk mengembangkan refinery plant. Termasuk yang dimiliki Pertamina, baik di Dumai, Plaju, Cilacap, Balikpapan, Balongan, dan Kasim. Sebab, hampir sebagian impor migas Indonesia (25 juta-26 juta ton) dalam bentuk hasil minyak olahan. 

Kunci berikutnya, mengurangi impor solar melalui penggunaan biodiesel B-30 untuk ke depannya. Namun, Tauhid menekankan, kunci ini akan berhasil apabila industri juga turut mendukung, seperti peralihan industri ataupun kendaraan otomotif yang dapat adaptif menggunakan B-30.

"Jangan sampai B30 digunakan namun terlampau mahal investasi untuk mesin-mesin baru," katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement