REPUBLIKA.CO.ID, KUNINGAN --- Tak banyak yang tahu jika di Kabupaten Kuningan terdapat sebuah kerajan kecil yang rajanya terakhirnya memeluk Islam sekitar abad ke-18. Ialah kerajaan Timbang Luhur. Kerajaan ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-15 di bawah naungan kerajaan Kuningan.
Kamis (25/7), Republika,co.id bersama tokoh masyarakat dan pegiat sejarah penyebaran Islam di Kuningan, Kiai Ahmad Musthofa Agil mengunjungi sebuah lokasi yang diperkirakan situs kerajaan Timbang Luhur.
Lokasinya berada di pedalaman hutan Desa Timbang, Kecamatan Cigandamekar, Kuningan. Medan yang ditempuh menuju lokasi yang diperkirakan situs Kerajaan Timbang Luhur cukup sulit, sebab selain melintasi area pesawahan warga, akses jalan menuju lokasi pun rusak. Sesampainya di lokasi, meski tak diketemukan puing-puing bangunan kerajaan Timbang Luhur, namun di sana memang terlihat adanya susunan pondasi batu yang rapi mengitari area tersebut.
Menariknya, susunan batu-batu tersebut dibuat berundak-undak mengitari area itu. Sayangnya lokasi itu tak terawat bahkan susunan batu-batu pondasi banyak tertutup pepohonan dan bambu. Menurut Kiai Ahmad Musthofa dulunya di lokasi itu ada sejumlah batu pipih besar yang tersusun rapi menyerupai meja pertemuan. Sayanganya batu-batu pipih itu hilang dicuri. Meski sampai saat ini belum ada arkeolog yang melakukan penelitian di lokasi tersebut, namun berdasarkan kisah turun temurun, warga Timbang mempercayai kerajaan Timbang Luhur berada di tempat itu.
“Menurut cerita turun temurun diperkirakan situsnya disini, banyak juga peziarah dari luar Kuningan datang ke sini, sayangnya kondisinya begini karena belum ada yang meneliti juga,” tutur Kiai Ahmad Musthofa.
Lokasi yang diperkirakan situs kerajaan Timbang Luhur itu dikelilingi oleh dua sungai yakni sungai Cimanis dan Ciambar yang alirannya menyatu di Sungai Pangaduan. Di bukit yang tak jauh dari lokasi yang diperkirakan situs kerajaan Timbang Luhur, terdapat sebuah makam tua. Pada nisannya tertulis Buyut Bewu.
Menurut Kiai Ahmad Musthofa, Buyut Bewu merupakan raja sekaligus generasi terakhir sebelum runtuhnya kerajaan Timbang Luhur pada abad ke-18. Buyut Bewu yang mulanya memeluk agama Hindu memutuskan berpindah keyakinan memeluk Islam. Itu menyusul berkembangnya ajaran Islam di Kabupaten Kuningan khususnya di Timbang setelah datangnya Tubagus Kalamuddin seorang putra dari Sultan Abu Mahasin Zainul Abidin Kesultanan Banten yang memutuskan beruzlah dan menetap di Ciwedus Timbang pada tahun 1700an dan disusul Kiai Syueb dari Termas, Jawa Timur yang menjadi menantu Tubagus Kalamuddin.
“Setelah banyak warga Timbang yang memeluk Islam, raja Timbang Luhur juga memeluk Islam oleh Kiai Syuaeb,” tutur Kiai Ahmad Musthofa yang juga merupakan generasi ketujuh dari Tubagus Kalamuddin.
Sementara berdasarkan catatan sejarah yang dimuat di laman Pemerintah Desa Timbang, lokasi kerajaan Timbang Luhu masuk pada wilayah Dusun II. Dimana Adipati Timbang Luhur mempunyai dua putra yakni Raden Singayuda dan Raden Dalem Drarim yang memeluk Islam setelah belajar pada Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sejak saat itu, masyarakat kerajaan Timbang Luhur pun banyak yang memeluk Islam. Meski demikian hingga kini belum berhasil ditemukan manuskrip yang menunjukan keberadaan dan sejarah kerajaan Timbang Luhur. Menurut Kiai Ahmad, dulunya terdapat sebuah Manuskrip kuno yang disimpan oleh sesepuh Timbang. Sayangnya Manuskrip itu pun sulit dilacak keberadaannya.
Meski demikian banyak pendapat yang memperkirakan wilayah Timbang merupakan sebuah daerah yang sudah terbentuk dengan sistem pemerintahannya sejak masyarakat Kuningan masih banyak yang memeluk agama Hindu. Seperti diungakpkan sejarawan Prof Edi S Ekadjati dalam bukunya Sejarah Kuningan dari masa prasejarah hingga terbentuknya Kabupaten mengungkapkan nama Timbang tertulis dalam naskah bujangga manik yang disusun pada akhir abad ke-15 atau abad ke-16 pada daun lontar beraksara sunda kuno sebagai salah satu tempat yang ada pada masa itu berada di daerah Kuningan.