REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Koalisi Pembebasan Rohingya menyatakan Myanmar mengunjungi Bangladesh bertujuan untuk mengurangi tekanan internasional. Menurutnya, tidak ada hal yang akan didapat dari dialog antara Myanmar dan perwakila Rohingya di Bangladesh.
"Rezim (pemerintah Myanmar) mereka belum meninggalkan kebijakan genosida terhadap Rohingya," kata Nay San Lwin, koordinator kampanye kelompok hak asasi Koalisi Pembebasan Rohingya dilansir dari Anadolu Agency, Senin (29/7).
"Jika Myanmar ingin mengambil kembali warga Rohingya, mereka memiliki peta desa, rumah foto dan masing-masing rincian keluarga. Mereka dapat membangun kembali semuanya dan mengirim daftar ke Bangladesh untuk membawa kembali orang-orang yang melarikan diri dari Myanmar," ucapnya.
Lwin mengatakan, Myanmar menandatangani perjanjian pemulangan dengan Bangladesh pada 23 November 2017. Pemulangan warga Rohingya tahap pertama dihentikan ketika para pengungsi Rohingya menyatakan tidak mau kembali ke tanah air mereka, Myanmar, karena merasa tidak aman saat kembali.
Sebuah studi baru-baru ini yang dilakukan oleh Australian Strategic Policy Institute (ASPI), menyebutkan, Myanmar memiliki persiapan untuk mendukung pengembalian yang aman, bermartabat, dan berkelanjutan dari pengungsi Rohingya yang berteduh di Bangladesh.
Fase kedua pembicaraan antara delegasi tingkat tinggi Myanmar dan perwakilan Rohingya di Bangladesh berakhir dengan jalan buntu pada persoalan hak kewarganegaraan. Myanmar masih belum setuju mengubah undang-undangnya kewarganegaraan 1982 yang kontroversial.
"Dan mereka ingin kami kembali sebagai migran baru atau pendatang baru," kata salah satu dari 35 perwakilan Rohingya yang mengambil bagian dalam dialog.
Dialog selama dua hari antara delegasi Myanmar, yang dipimpin oleh Sekretaris Permanen Urusan Luar Negeri U Myint Thu, dan perwakilan Rohingya diadakan di distrik Bazar Cox, Bangladesh selatan, pada Sabtu lalu.
Pertemuan tiga jam pada hari pertama berakhir tanpa terobosan. Dialog berlanjut pada hari Ahad selama tiga setengah jam, tetapi tidak ada kesepakatan yang dapat dicapai tentang hak kewarganegaraan.