REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Yun Insiani mengatakan penegakan aturan pelarangan merkuri sebagai kategori B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) sulit diterapkan. Karena sebagian industri secara tidak sengaja menghasilkannya.
"Pada saat menggunakan batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap, kita juga akan menggunakan batu bara yang akan dibakar dan melepaskan material merkuri," ujar Yun di Jakarta dalam lokakarya awal pengurangan pasokan dan ketersediaan merkuri di Indonesia, Senin (29/7).
Yun mengatakan sektor rumah dan skala kecil juga diketahui pelepasan merkurinya cukup besar. "Kurang lebih ada tiga ratusan sekian ton per tahun emisi yang dilepaskan di udara," ujar Yun.
Untuk mengendalikan merkuri tentu saja yang pertama sumber utama merkuri harus bisa dikendalikan. Upaya itu juga harus bisa mengontrol suplai atau pasokan peredaran merkuri yang ada di Indonesia.
Oleh karena itu pemerintah melegitimasikannya melalui Peraturan Presiden Nomor 21 tahun 2019. Perpres tersebut merupakan implementasi Konvensi Minamata yang bertujuan melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari emisi dan lepasan merkuri dan senyawa merkuri antropogenik.
Yun mengatakan berdasarkan catatan yang lalu bahwa Indonesia sudah berhasil melakukan penutupan tambang sinabar yang ada di Seram bagian barat adalah satu langkah bagus dan maju. "Dan dari catatan kami, bahwa setiap merkuri atau sinabar yang dihasilkan dari tambang itu kurang lebih 700 ton," ujar Yun.
Hari ini KLHK mengenalkan kegiatan baru yang didanai Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat untuk membantu KLHK dan pemerintah Indonesia dalam penanganan merkuri dan ketersediaan merkuri di Indonesia.
Dari kegiatan tahun-tahun sebelumnya, beberapa proyek yang didanai oleh berbagai donor sudah membantu mengurangi kemasan merkuri di PLTU kemudian di tambang emas dan sektor kesehatan. "Nah, sekarang yang masih menjadi penekanan Indonesia adalah persediaan merkurinya atau suplai merkurinya," ujar Yun.
Selain karena di Indonesia merupakan produsen batu sinabar, juga ada produk dari sektor minyak dan gas (migas) yang menghasilkan merkuri sama berbahayanya. KLHK pun berkolaborasi bersama Biodiversity Research Institute (BRI), International Polutant and Emission Network (IPEN), dan Global Iniative against Transnational Organized Crime (GITOC), dan Dyah Paramita dari Center for Regulation, Policy, and Governance (CRPG) untuk melakukan projek penelitian untuk mengurangi suplai merkuri dan keberadaannya di Indonesia.
Dari kegiatan selama tiga tahun ke depan ini diharapkan akan membantu melengkapi peraturan yang diperlukan pemerintah Indonesia, KLHK dalam hal ini, untuk mengurangi ketersediaan merkuri dan sinabar serta produk migas berbahaya. Proyek ini membantu menyusun komponen kebijakan apa yang diperlukan untuk membatasi ketersediaan merkuri dalam bentuk sinabar atau primary sampling mining, dan merkuri dari produk migas.
Merkuri yang ada di pasaran saat ini juga dipikirkan bagaimana penyimpanannya. Apakah ditaruh di suatu tempat atau di beberapa tempat kemudian dalam bentuk apa (apakah dalam bentuk stabil atau bentuk fundamental, dan lainnya). Itu kemudian harus dibuat untuk mendukung ke arah sana.
Terakhir tentang biomonitoring, yaitu salah satu komponennya adalah untuk pemetaan. "Jadi daerah-daerah yang kami dampingi akan membantu untuk menyusun pemetaannya untuk memberikan gambaran agar memudahkan arahan pemantauan selanjutnya," ujar Direktur Balifokus (Nexus 3), Yuyun Ismawati, Senin.
Di dalam komponen biomonitoring ini, Yuyun ingin memastikan apa yang dilakukan kegiatan sebelumnya menarik merkuri serta pembuangan merkuri pada sektor tambang emas pertama. Lalu untuk mengukur efektivitasnya dilakukan pemantauan atau biomonitoring.