REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner KPU, Pramono Ubaid Tanthowi mendorong revisi undang-undang nomor 10 tahun 2016 tentang pilkada. Salah satu aturan yang mendesak untuk dimasukkan adalah soal larangan bagi mantan koruptor untuk mencalonkan diri dalam pilkada.
Mantan Ketua Bawaslu, Bambang Eka Cahya Widodo mendukung pernyataan tersebut. Ia beralasan, kepala daerah memiliki kewenangan untuk mengatur keuangan daerah. Oleh karena itu, jabatan kepala daerah sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang pernah korupsi.
"Kalau dia pernah korupsi, maka wajar jika kita mempertanyakan integritasnya untuk tidak korupsi lagi. Bangsa Indonesia enggak kekurangan orang bersih. Kenapa harus mantan koruptor yang dicalonkan?" kata Bambang saat dihubungi Republika.co.id, Senin (29/7).
Kemudian, Bambang mengatakan, larangan tersebut tak cukup hanya diatur lewat PKPU. Menurutnya, kewenangan yang berkaitan dengan pencabutan hak asasi seseorang, sebaiknya diatur oleh undang-undang.
"Kemarin PKPU telah melarang mantan koruptor untuk nyaleg. Sebaiknya hal itu diperkuat melalui aturan yang lebih tinggi. Salah satunya bisa melalui Revisi UU Pilkada," ujar pria yang juga penggagas desa antipolitik uang itu.
Selanjutnya, ia menambahkan, gugatan terhadap aturan setingkat PKPU dilakukan melalui Mahkamah Agung (MA). Padahal, proses persidangan di MA dilakukan secara tertutup. Sehingga masyarakat tidak tahu penggugat aturan tersebut.
"Kalau diatur dalam undang-undang, maka untuk menggugatnya harus melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Sedangkan proses persidangan di MK kan terbuka. Jadi kita tahu siapa pihak yang menggugat larangan koruptor mencalonkan diri," tuturnya.
Ia menegaskan, perbedaan model gugatan itu dapat menjadi keuntungan tambahan. Pasalnya, masyarakat dapat memetakan, pihak yang benar-benar berkomitmen dalam pemberantasan korupsi.
Di sisi lain, ketika disinggung soal perdebatan HAM dalam larangan tersebut, ia memberikan alternatif. Menurutnya, jika larangan tersebut dianggap melanggar hak seseorang untuk berpolitik maka larangan tersebut bisa diterapkan secara temporal. "Misalnya, larangannya hanya lima tahun atau 10 tahun, itu bisa jadi opsi alternatif," kata Bambang.