REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Diplomat-diplomat tinggi dari negara-negara Asia-Pasifik berkumpul di Bangkok, Thailand untuk membahas isu-isu di kawasan. Pembahasan termasuk keamanan di Semenanjung Korea dan Laut Cina Selatan (LCS) yang diklaim China.
Pertemuan di ibu kota Thailand tersebut diselenggarakan 10 anggota Asosiasi Negara Asia Tenggara (ASEAN). Pemerintah Thailand mengatakan ada 27 pertemuan dalam acara yang digelar dari 31 Juli sampai 2 Agustus.
Sebanyak 31 negara sekutu ASEAN juga turut hadir dalam pertemuan tersebut. Acara inti Pertemuan Menteri-menteri Luar Negeri ASEAN (AMM) dibayangi pemain-pemain besar yang turut hadir dalam acara ASEAN Regional Forum (ARF) dan Pertemuan Menteri-menteri Asia Timur (EAS).
Pemain-pemain besar yang turut hadir antara lain Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri China Wang Yi, dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov. Mitra ASEAN yang turut hadir adalah Australia, India, Uni Eropa, Jepang, dan Korea Selatan.
Pada Selasa (30/7), Kementerian Luar Negeri Indonesia merilis pernyataan Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi sudah tiba di Bangkok pada Senin (29/7). Setibanya di Bangkok, Retno langsung mengadakan rapat koordinasi dengan delegasi Indonesia untuk membahas rangkaian pertemuan tingkat menteri ASEAN ke-52 serta berbagai pertemuan dengan mitra wicara ASEAN.
Pernyataan itu menyebutkan pada Selasa ini, Retno akan mengadakan pertemuan dengan perwakilan ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AIHCR) dan pertemuan dengan Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone (SEANWFZ) Commission. Pekan lalu pemerintah Thailand mengatakan Korea Utara (Korut) akan mengirim perwakilannya ke Bangkok.
Namun, belum diketahui apakah Korut mengirimkan menterinya atau tidak. Washington menganggap remeh uji coba rudal yang dilakukan Korut baru-baru ini. Mereka juga mengungkapkan keinginan mereka untuk kembali menggelar pertemuan untuk membahas denuklirisasi Semananjung Korea. Maka, ada kemungkinan isu senjata pemusnah massal juga ada dibahas dalam pertemuan di Bangkok. Kabarnya dalam pertemuan tersebut, AS juga ingin menggelar pertemuan dengan Jepang dan Korea Selatan untuk membahas perselisihan dua negara bertetangga tersebut. Ketegangan yang mengancam industri elektronik Korsel.
Sementara itu, persoalan LCS menjadi isu yang paling mendesak bagi ASEAN. Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei saling klaim perairan yang bernilai triliunan dolar AS setiap tahunnya itu.
Ketegangan di wilayah itu sudah lama berlangsung. Tapi kembali berkobar pada awal bulan ini ketika Vietnam menuduh China melanggar kedaulatan mereka dengan mengintervensi aktivitas kilang minyak dan gas di perairan tersebut.
Vietnam dapat mengandalkan beberapa sekutunya di pertemuan pekan ini. Tapi mungkin harus beroperasi di luar kerangka kerja konvensional ASEAN dengan membentuk blok maritim de facto dengan Indonesia, yang telah secara agresif menghalau nelayan-nelayan ilegal Cina di perairan mereka.
Vietnam juga dapat memanfaatkan Filipina yang sempat bersitegang dengan China karena insiden pada bulan Juni lalu. Ketika kapal nelayan China menghantam kapal nelayan Filipina dan membuat kapal negara yang dipimpin Rodrigo Duterte itu tenggelam.
Sulit bagi ASEAN untuk membuat kesepakatan bersama tentang operasi China di LCS. Karena blok itu bekerja dalam kerangka konsensus, artinya setiap anggota dapat melakukan veto atas keputusan atau deklarasi yang disetujui bersama.
China dapat mengandalkan sekutu mereka di ASEAN seperti Kamboja dan Laos. Selain itu, banyak negara-negara ASEAN yang enggan untuk menentang pengaruh negara paling digdaya di Asia itu.