REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koodinator Divisi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, mendorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon kepala daerah. Menurutnya, Perppu merupakan salah satu terobosan hukum yang memungkinkan mengatur larangan tersebut.
“ICW setuju larangan eks koruptor menjadi calon kepala daerah dan sebaiknya wacana ini didorong Presiden melalui Perppu,” ujar Donal di Jakarta, Selasa (30/7).
Menurut Donal, Presiden Jokowi juga sebenarnya bisa mendorong melalui revisi UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Namun, revisi UU Pilkada bisa saja terbatas waktu dengan situasi DPR yang akan berakhir masa jabatannya.
“Menurut saya agar dasar hukumnya kuat sebaiknya didorong melalui Perppu atau revisi UU Pilkada. Kalau waktu cukup, melalui revisi UU Pilkada,” tegasnya.
Selain itu, lanjut Donal, larangan ini sebenarnya bisa diatur dalam Peraturan KPU (PKPU). Namun, dia khawatir nasib PKPU tersebut akan sama dengan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 yang melarang koruptor menjadi calon anggota legislatif di Pemilu 2019. Aturan ini sudah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA).
“Belum lagi, adanya resistensi dari Bawaslu terkait pengaturan seperti itu. Karenanya perlu komitmen bersama, agar pembatasan ini bisa dilakukan melalui Perppu atau revisi UU Pilkada sehingga dasar hukumnya kuat,” ungkap Donal.
Sementara itu, Komisioner KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, mengungkapkan ada sejumlah langkah untuk mencegah para koruptor menjadi calon kepala daerah. Menurutnya, langkah tersebut bukan hanya tanggung jawab salah satu pihak saja.
"Jadi banyak pihak yang bisa berperan dalam konteks itu (mencegah eks koruptor jadi calon kepala daerah), bukan hanya melalui KPU dengan komitmen agar yang pernah melakukan korupsi tidak menjabat kembali," ujar Pramono saat dikonfirmasi wartawan, Selasa.
Pertama, kata Pramono, dengan mengatur larangan tersebut dalam Undang-Undang Pilkada dan PKPU. Dia menegaskan, langkah yang paling ideal adalah mengatur ketentuan tersebut ke dalam UU Pilkada.
"Gagasan ini bisa terus digulirkan, digelindingkan sehingga diakomodasi. Misalnya direvisi UU Pilkada-nya,itu yang paling ideal sebenarnya," kata dia.
KPU, kata Pramono, bisa saja mengatur larangan tersebut dalam PKPU. Namun, peraturan tersebut berpotensi digugat ke MA dan nasibnya akan sama dengan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 yang melarang eks koruptor menjadi caleg di Pemilu 2019. Saat itu, MA membatalkan ketentuan KPU yang melarang eks koruptor menjadi caleg.
"Kalau misalnya KPU tuangkan dalam peraturan KPU, kemudian nanti ada calon kepala daerah yang berstatus napi, lalu gugat ke MA, sudah bisa diduga, dibatalkan. Itu kan problem riil yang kita hadapi ke depannya," tegasnya.
Kedua, adanya dukungan politik dari pemerintah dan DPR jika KPU membuat PKPU yang melarang eks narapidana korupsi menjadi calon kepala daerah. Menurut dia, dukungan politik ini penting agar parpol tidak mencalonkan eks koruptor dan tidak ada potensi PKPU digugat ke MA.
"Proses pencolanan dalam Pilkada itu kan oleh DPP parpol. Kalau partai politik tingkat pusatnya menyetujui peraturan KPU, itu otomatis mereka tidak akan mengajukan calon-calon yang memang mantan narapidana korupsi sehingga potensi digugat ke MA-nya tidak ada," jelasnya.
Ketiga, pengadilan memutuskan mencabut hak politik dari orang yang terbukti telah melakukan korupsi. Menurut dia, pencabutan hak politik tersebut menutup peluang eks koruptor menjadi calon kepala daerah.
"Kemudian, kita setuju dengan imbauan KPK agar masyarakat tidak memilih eks narapidana korupsi," ungkap dia.
Pramono menegaskan bahwa KPU sebenarnya telah mengambil langkah yang progresif untuk mencegah eks koruptor menduduki jabatan publik. KPU, kata dia, tidak hanya mengimbau, tetapi membuat peraturan yang melarang eks koruptor menjadi caleg, meskipun peraturan tersebut dibatalkan oleh MA.
"Kita tidak ingin orang yang pernah mendapatkan sanksi pidana korupsi itu diberi amanat kembali, orang yang pernah mengkhianati amanat harusnya tidak diberi kepercayaan kembali, karena orang yang pernah dijatuhi pidana korupsi itu nyatanya ada juga yang terbukti kembali melakukan itu. KPU berada dalam posisi di mana orang yang pernah mempunya pengalaman korupsi tidak diberi amanat kembali," tambahnya.
Sebelumnya, KPK meminta parpol tak mencalonkan orang yang punya rekam jejak buruk untuk Pilkada 2020 nanti. Permintaan itu didasari oleh kasus Bupati Kudus Muhammad Tamzil yang tersandung korupsi untuk kedua kalinya.
"Dengan terjadinya peristiwa ini, KPK kembali mengingatkan agar pada Pilkada Tahun 2020 mendatang, partai politik tidak lagi mengusung calon kepala daerah dengan rekam jejak yang buruk," ujar Wakil Ketua KPK, Basaria Pandjaitan, saat konferensi pers di gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (27/7) lalu.