REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jenis dan ukuran sebuah madrasah sungguh beragam, mulai dari yang hanya mempunyai kelas tunggal hingga yang besar. Ada pula yang dilengkapi perpustakaan plus ruang kuliah besar, seperti digambarkan B Dodge tentang al-Mustansiriyah dalam karyanya, Muslim Education. Sejarawan ini mengelompokkan lembaga pendidikan ini dalam kategori universitas.
Menurut dia, al-Mustansiriyah berdiri pada 1234 Masehi. Khalifah al-Mustansir dari trah Abbasiyah yang mendirikannya. Ayah dari al-Mustassim ini memilih lokasi di selatan Gharabah sebagai lokasi madrasah. Letaknya yang berde katan dengan tepian Sungai Tigris membuatnya dibangun dengan struktur dua tingkat yang kokoh.
Selain kuat di tampilan luarnya, sang khalifah memperhatikan faktor kesehatan lingkungannya. Pola pembangun annya memenuhi seluruh syariat Islam. Tersedia ruang terbuka yang luas di tengah bangunan. Di pinggir lahan tersebut dibangun sederetan ruang untuk guru dan murid. Di lahan yang sama juga dibangun Masjid Jami al-Kasr.
Masjid ini mengalami perombakan dengan menambahkan empat ruangan teras (Dikkah) di sisi barat mimbar. Di tempat tersebut, para mahasiswa bisa singgah usai menunaikan shalat Jumat. Arsitektur ini masih dipertahankan. Sis tem penggajian di al-Mustansiriyah juga sistematis. Para pengajarnya digaji bulanan. Begitu pula sekitar 300 orang mahasiswanya, menerima dinar setiap bulannya.
Para mahasiswa mendapatkan pengajaran bersama oleh profesor dan seorang asistennya. Selain itu, ada ruang-ruang kelas kecil yang menampung seorang guru dan 10 orang mahasiswa. Mereka mengkaji bahasa tradisional, hukum, dan agama. Bidang sains lainnya diminati pula, seperti aritmetika, survei tanah, sejarah, puisi, higienitas, perawatan hewan dan tanaman, serta medis.
Fasilitas penunjang seperti perpusta kaan tersedia, dikelola seorang pustakawan dan asistennya. Menurut Ibnu al-Furat, perpustakaan mempunyai koleksi buku lengkap. Beberapa karya di bidang sains memudahkan mahasiswa menda patkan yang diinginkan. Pena dan kertas diberikan gratis. Penerangan sangat memadai lewat lampu-lampu minyak.
Khalifah al-Mustansir tak main-main dengan proyek pendidikannya. Dia acap kali menelusuri ruang-ruang madrasah dan mengamati kegiatan belajar-mengajar. Dia melakukannya melalui sebuah jende la bangunan kecil (manzarah) yang menghadap langsung ke ruang kuliah. Ia menyimak materi yang disampaikan peng ajar.
Setelah bertahun-tahun berdiri, cendekiawan Muslim Ibnu Batutta sempat singgah pada 1327 Masehi. Dia mengisahkan keistimewaan madrasah ini. Meski diserang bangsa Mongol pada 1258, perkuliahan masih bisa berlangsung. Pada 12 tahun setelah kedatang an Batutta, ahli geografi Hamd Allah sempat singgah. Ia mengatakan, bangun annya masih tetap menyimpan pesona keindahan.