REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memperkuat lembaganya untuk memerangi penyakit akibat makanan dengan meningkatkan koordinasi lintas pemerintahan dan sektor. Kepala BPOM Penny Lukito menyatakan, tujuan ketahanan pangan tidak akan tercapai tanpa keamanan pangan.
"Tidak ada ketahanan pangan tanpa keamanan pangan," kata Penny di Jakarta, Rabu.
Penny mengatakan, penyelenggaraan keamanan pangan harus dilakukan secara holistik, terkoordinasi, dan sistemik di sepanjang hulu sampai hilir rantai pangan (from farm to table). Ia pun menyatakan, pihaknya terus berupaya memperkuat tata kelola pengawasan dan mengembangkan sistem pengawasan pangan yang efektif di Indonesia.
Potensi risiko bahaya terhadap keamanan pangan, menurut Penny, dapat terjadi di setiap titik rantai pangan, termasuk juga pangan impor. Penny mengatakan, penyakit akibat makanan merupakan salah satu beban keamanan pangan yang harus menjadi perhatian besar.
"Menyadari bahwa keamanan pangan erat kaitannya dengan kualitas sumber daya manusia dan daya saing bangsa, BPOM secara tegas menyatakan pengawalan keamanan pangan harus menjadi prioritas bersama seluruh masyarakat Indonesia di sepanjang jalur rantai pangan," kata dia.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2019, sekitar 600 juta orang atau 1 dari 10 orang di dunia menderita sakit setelah mengonsumsi pangan yang terkontaminasi. Sebanyak 420 ribu orang meninggal setiap tahun karena makanan tersebut.
Selain dampak kesehatan, penyakit akibat makanan juga dapat mengganggu kestabilan ekonomi, perdagangan dan pariwisata, baik nasional maupun internasional. Peredaran pangan yang tidak aman menyebabkan masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah mengalami kerugian sekitar Rp 95 miliar akibat kehilangan produktivitas setiap tahun.
Penny mengatakan, BPOM terus melakukan sosialisasi mengenai bahaya penyakit akibat makanan seperti lewat berbagai seminar, perayaan Hari Keamanan Pangan, Pawai Peduli Pangan Aman dan lainnya.