REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menekankan agar masyarakat memahami benar perbedaan financial technology (fintech) ilegal dan legal. Juru Bicara OJK, Sekar Putih mengatakan pinjaman online atau pinjol memang membawa sengsara kecuali jika paham manfaat, biaya, dan risikonya.
"Fintech ilegal jelas tidak memiliki izin resmi, sementara yang legal sudah terdaftar dan diawasi OJK," kata Sekar kepada Republika.co.id, Rabu (31/7).
Fintech ilegal ini juga tidak punya identitas yang jelas, mulai dari pengurusnya hingga alamat kantor tidak diketahui atau fiktif. Pemberian pinjaman juga berlangsung sangat mudah namun tidak dibarengi dengan informasi tentang bunga, biaya pinjaman, dan denda.
Fintech ilegal memberi bunga pinjaman yang tidak terbatas. Sementara fintech legal, OJK mengatur total biaya pinjaman berkisar 0,05-0,8 persen per hari. Maksimum pengembalian pinjaman termasuk denda pun tidak boleh lebih dari 100 persen pinjaman pokok.
Sementara fintech ilegal yang berniat memeras menerapkan total pengembalian termasuk denda yang tidak terbatas. Penagihan dilakukan setiap saat tanpa batas waktu. Sementara fintech legal hanya boleh menagih dalam jangka waktu 90 hari saja dengan tata cara yang juga diatur.
"Fintech legal menagih tidak dengan meneror karena mereka hanya boleh akses kamera, mikrofon, dan lokasi saja," kata Sekar.
Sementara fintech ilegal akan mengakses ke seluruh data di ponsel nasabah. Disertai dengan ancaman teror, kekerasan, penghinaan, pencemaran nama baik, hingga menyebar video atau foto pribadi.
Di fintech legal, ada layanan konsumen dan pengaduan yang menjamin layanan pada nasabah. Namun, risiko peminjam yang tidak melunasi setelah 90 hari akan masuk ke dalam daftar hitam Pusat Data Fintech Lending (Pusdafil) OJK.
Sekar mengatakan OJK sedang kembangkan Pusdafil yang bila sudah beroperasi akan bisa memonitor industri secara lebih intensif. Pusdafil akan menggunakan teknologi informasi untuk melakukan pengawasan.