REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Jerman Richard Grenell melayangkan komentar pedas terhadap pemerintah Kanselir Angela Markel, karena enggan bergabung dengan misi militer di Selat Hormuz. Grenell menyatakan, Jerman sebagai negara yang memiliki kekuatan ekonomi terbesar di Eropa harus memikul tanggung jawab lebih besar dalam urusan global.
“Jerman adalah kekuatan ekonomi terbesar di Eropa. Keberhasilan ini membawa tanggung jawab global," ujar Grenell kepada surat kabar Augsburger Allgemeine, Kamis (1/8).
Grenell mengatakan AS telah berusaha mendapatkan dukungan dari Jerman untuk misi militer di Selat Hormuz. Sementara, Menteri Pertahanan Jerman Annegret Kramp-Karrenbauer mengatakan, Jerman sedang meninjau permintaan itu.
"Amerika telah berkorban banyak untuk membantu Jerman agar tetap menjadi bagian dari Barat," kata Grenell.
Grenell telah menimbulkan kontroversi sejak menjabat sebagai duta besar Jerman pada tahun lalu. Dia kerap menyampaikan kritik yang blak-blakan terhadap pemerintah Jerman.
Hubungan antara AS dan Jerman telah memburuk sejak Presiden AS Donald Trump menjabat. Memburuknya hubungan tersebut karena ketidaksepakatan pada berbagai masalah, termasuk persoalan tarif perdagangan, pipa gas NordStream 2 dan Iran.
Pada Rabu (31/7) lalu, Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas mengesampingkan keikutsertaan Jerman dalam misi angkatan laut yang dipimpin AS ke Selat Hormuz. Dia mengatakan Jerman ingin meredakan ketegangan dengan Iran dan menghindari eskalasi.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Jerman Olaf Scholz mengaku skeptis mengenai ajakan AS untuk bergabung dalam misi militer di Selat Hormuz. AS secara resmi telah meminta Jerman untuk bergabung bersama dengan Prancis dan Inggris dalam misi mengamankan Selat Hormuz, serta memerangi agresi Iran.
"Saya sangat skeptis tentang itu, dan saya pikir itu adalah skeptisisme yang dimiliki banyak orang," kata Scholz kepada televisi ZDF.
Scholz mengatakan, saat ini penting untuk menghindari eskalasi militer di Selat Hormuz. Menurutnya, misi militer tersebut akan menimbulkan risiko konflik lebih besar."Itu sebabnya, saya pikir ini bukan ide yang baik," kata Scholz.