REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masjid Agung Tongxin menjadi saksi sejarah berdirinya Republik Komunis Tiongkok. Pada Oktober 1934 hingga 1935, Muslim Hui melakukan kontak pertama dengan kelompok revolusi Partai Komunis Tiongkok dalam upaya penggulingan kaisar terakhir Tiongkok Dinasti Qing. Muslim Hui di Tongxin pada saat itu memiliki hubungan penting dengan pasukan merah Komunis Tiongkok dalam gerakan revolusi.
Pada saat 1936, wilayah Yuwang Bao yang kini berada di wilayah Tongxin merupakan lokasi markas Front Pasukan Merah Pertama. Setelah terjadi pengepungan oleh pasukan nasionalis yang mendukung gerakan Kuomintang Sun Yat-Sen. Pasukan Merah kemudian berlindung di beberapa bangunan di wilayah Tongxin, termasuk di antaranya, Masjid Agung Tongxin. Perlindungan yang diberikan Muslim Hui ini menjadi jasa besar bagi Partai Komunis Tiongkok.
Pada Oktober 1936, sebuah pertemuan publik diadakan di Masjid Agung Tongxin dan disepakati oleh pemerintahan komunis pertama. Daerah Ningxia dan Tongxin pun menjadi daerah otonom pertama pada era Komunis Tiongkok. Walaupun daerah otonomi tersebut tidak berumur panjang, ini telah berhasil melindungi bangunan Masjid Agung Tongxin dari kehancuran selama Revolusi Kebudayaan oleh Partai Komunis Tiongkok.
Masjid Agung Tongxin ini merupakan satu di antara banyak masjid peninggalan Islam di tanah Tiongkok. Masjid yang dibangun pada 1573 pada masa pemerintahan Kaisar Wanli Ming (1563-1620) dan dibangun kembali sekitar 50 tahun kemudian di bawah Dinasti Qing. Masjid ini menjadi kebanggaan etnis Muslim Hui hingga sekarang. Saat ini, Masjid Tongxin pun menjadi salah satu masjid terbesar di wilayah yang saat ini disebut Otonomi Hui Ningxia.
Masjid Agung Tongxin dinilai istimewa karena menyimpan perjalanan panjang perbauran Islam di dataran Tiongkok. Profesor Ibrahim Wenjiong Yang dari Lanzhou University mengatakan, masjid ini merupakan bagian penting dari identitas Muslim Hui di Ningxia. Masjid ini juga menorehkan sejarah perjuangan Muslim Hui semasa Revolusi Kebudayaan. Dari sisi arsitektur, masjid ini menggabungkan unsur tradisional etnis Han-etnis mayoritas Tiongkok ke dalam arsitektur Hui Islam.