REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- David Marshall dalam bukunya Communicating the Word: Revelation, Translation, and Interpretation in Christianity and Islam menuliskan, Alquran turun kepada Nabi Muhammad SAW yang tidak bisa baca-tulis.
Itulah mengapa Rasulullah menuangkan perhatiannya untuk menghafal dan menghayati Alquran. Agar beliau tetap menguasai Alquran persis saat ketika diturunkan. Rasul membacakannya kepada banyak orang. Dengan begitu, para sahabat dapat menghafal Alquran dan memantapkannya.
Nabi Muhammad adalah seorang yang tidak bisa baca-tulis dan diutus Allah SWT di kalangan orang-orang yang tidak bisa baca-tulis pula, Allah SWT berfirman, “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dengan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah.” (QS al-Jumu'ah: 2).
Orang-orang yang tidak bisa baca-tulis itu hanya mengandalkan kekuatan hafalan dan ingatannya. Saat masa turunnya Alquran, bangsa Arab berada dalam budaya Arab yang begitu kuat. Ingatan mereka terlampau kuat. Kemampuan menghafal sangat cepat. Serta, daya pikirnya begitu terbuka.
Alquran membuat orang-orang mencurahkan perhatiannya pada kitab suci ini. Mereka menghafal ayat demi ayat, surah demi surah. Rasulullah mempunyai beberapa sahabat yang ditugaskan untuk menulis dan mendokumentasikan Alquran. Para sahabat ini dipilih langsung oleh Rasul, di antara mereka yang paling indah tulisannya.
George Nicholas Atiyeh dalam The Book in the Islamic World menjelaskan, pada awal era Islam, digunakan dua jenis naskah. Salah satunya seperti persegi menyudut yang disebut Kufi. Tulisan ini digunakan pertama kali untuk salinan tangan Alquran. Serta, untuk dekorasi arsitektur pada awal tahun Kerajaan Islam.
Yang lainnya disebut naskhi. Tulisan ini lebih bulat dan kursif. Digunakan untuk surat-menyurat, dokumen bisnis, dan banyak lain. Tulisan Kufi pada abad ke-12 telah usang. Sedangkan, Naskhi tetap digunakan. Sebagian besar gaya kaligrafi Arab menggunakan tulisan ini.
Puncak kejayaan
Melalui tradisi tulis-menulis, peradaban Islam berada pada puncak kejayaannya. Mengutip Yoginder Sikand dalam Bastions of the Believers: Madrasas and Islamic Education in India, masa keemasan Islam ada pada zaman Dinasti Abbasiyyah (750-1258 M).
Muncul sejumlah proses penerjemahan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Hal ini mendapat perhatian serius dari kekhalifahan (pemerintah). Maka, tumbuhlah Islam sebagai pusat peradaban dunia hingga pecahnya Perang Salib.
Pusat pendidikan formal juga dimulai selama periode Abbasiyah. Ribuan sekolah masjid saat itu mulai didirikan. Pada abad ke-10, Baghdad memiliki sekira 300 sekolah. Dua yang paling terkenal adalah Bait al-Hikmah di Baghdad (820 M) dan Dar al-Ilm di Kairo (998 M). Universitas, seperti Al-Azhar (969 M), juga didirikan.