REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sempat ‘menjual’ isu kepada masyarakat bahwa pengenaan tarif terhardp barang Cina senilai 250 miliar dolar AS pada Juli dapat membawa lapangan pekerjaan kembali ke AS. Pada kenyataannya, tidak.
Kenaikan tarif mengancam peningkatan biaya produksi para pabrikan AS di Cina. Dampaknya, mereka memang berkemas, tapi tidak kembali ke AS melainkan ke negara lain. Sebut aja perusahaan Nike, Crocs, Roomba dan Go Pro yang kini memutuskan pindah tempat produksi ke Vietnam, Bangladesh, India dan Meksiko.
Perusahaan teknologi seperti Dell, Sony dan Nintendo dilaporkan akan melakukan hal serupa. Sangat sedikit yang memutuskan kembali ke AS.
Direktur Pusat Studi Kebijakan Perdagangan di Cato Institute, Daniel Ikenson menjelaskan, penerapan tarif oleh Trump secara tersirat meminta perusahaan AS untuk kembali ke negara asal. Sayangnya, sangat sedikit di antara mereka yang benar-benar melakukannya.
"Membuat produk di Amerika terlalu mahal," ujarnya, dilansir di South China Morning Post, Kamis (1/8).
Menurut perusahaan konsultan AT Kearny, para produsen terus memandang negara selain AS sebagai lokasi yang lebih ideal untuk kegiatan produksi. Dalam Indeks Reshoring yang dibuat AT Kearny memperlihatkan, jumlah barang AS yang diimpor dari negara lain dan diproduksi di dalam negeri telah menurun pada 2018 selama tiga tahun berturut-turut.
Peneliti di AT Kearny, Johan Gott, melihat bahwa tidak ada tanda-tanda produsen AS akan kembali ke negaranya dengan alasan tarif. Justru, mereka harus bekerja keras bertahan di tengah penerapan tarif dan kenaikan biaya produksi. "Lebih masuk akal bagi mereka untuk membuat barang di kawasan yang tenaga kerjanya lebih murah dan berlimpah," tuturnya.
Dalam survei terbaru Kamar Dagang Amerika di Cina, sekitar 41 perusahaan AS telah bergeser atau sedang mempertimbangkan untuk memindahkan pabrikan dari Cina. Salah satu di antaranya adalah produsen pakaian Kuhl yang telah memproduksi selama hampir dua dekade di Cina. Mereka sedang berusaha memindahkan sebagian besar produksinya ke Vietnam.
Memang benar bahwa jumlah pekerjaan di sektor manufaktur AS telah meningkat sejak Trump menjabat pada Januari 2017. Pada Juli, tercatat angkanya mencapai 12,8 juta atau naik 400 ribu dibanding saat masa pemerintahannya dimulai. Tapi, statistik tenaga kerja menunjukkan, peningkatan tersebut justru melambat dibanding dengan yang seharusnya.
Data dari Biro Tenaga Kerja menunjukkan, ekonomi AS telah menambah hampir 6 juta pekerjaan sejak 2017. Pekerjaan di bidang manufaktur yang menyumbang sekitar 10 persen dari total output ekonomi seharusnya meningkat 600 ribu pada periode tersebut.
Artinya, pertumbuhan yang diklaim Trump masih kurang 400 ribu untuk mencapai tahap ideal. “Jadi, kenaikan tersebut tidak terlalu impresif. Justru, ini sebenarnya tertinggal dari pertumbuhan ekonomi rata-rata,” kata Lauren Goodwin, seorang ekonom dan ahli strategi di New York Life Investments.
Wakil presiden eksekutif Asosiasi Pakaian dan Alas Kaki Amerika (AAFA) Steve Lamar menyebutkan, apa yang dilakukan Trump tidak membantu mengembalikan pekerjaan manufaktur. Dengan menaikan tarif pada tekstil yang diimpor justru membuat produksi di AS lebih mahal.
"Kita dapat melihat, negara di Asia Tenggara dan beberapa negara di Afrika mendapat manfaat dari kebijakan ini. Sayangnya, AS bukan salah satunya," ujarnya.
Kondisi ini tak pelak memberikan pengaruh pada pertumbuhan manufaktur. Dulu, manufaktur dikenal sebagai tulang punggung ekonomi Amerika. Produsen seperti IBM, Ford dan General Motors merupakan bintang besar dan mewakili vitalitas ekonomi AS.