REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di wilayah timur nusantara ada pula kerajaan besar, yakni Kerajaan Gowa. Berdiri pada 1300-an, kerajaan ini memainkan peran penting terkait masuknya Islam di tanah Sulawesi, utamanya pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV bernama I Manga’rangi Daeng Manrabbia.
Ia adalah raja pertama Kerajaan Gowa yang menerima Islam dan membiar kan Islam berkembang di Sulawesi Selatan untuk menggantikan animisme, kepercayaan yang dianut masyarakat setempat sebelum Islam hadir.
Berkuasa pada 1593-1639 M, I Manga’rangi Daeng Manrabbia akhirnya memeluk Islam. Ia pun menjadi raja Gowa pertama yang memeluk agama Allah dan mendapat gelar Islam, yakni Sultan Alauddin. Belakangan, perdana menteri dan pejabat kerajaan lainnya mengikuti jejak sang sultan memeluk Islam.
Setelah menyandang gelar sultan, dalam menjalankan pemerintahan, Sultan Alauddin dibantu sebuah dewan yang disebut Kasuwiyang Salapanga (Majelis Sembilan) atau Bate Salapanga. Sedangkan, dalam menjalankan undang-undang pemerintahan, ia diawasi oleh paccalaya (hakim).
Dalam struktur pemerintahan Islam Kerajaan Gowa dikenal pula jabatan mangkubumi, pegawai tinggi urusan istana, panglima tertinggi (laksamana), bendahara kerajaan yang bertugas mengurus perdagangan dan hubungan luar negeri, serta pejabat khusus bidang keagamaan yang disebut kadhi. Untuk menyelenggarakan kegiatan dan pendidikan di bidang keagamaan, kadhi dibantu oleh imam, khatib, dan bilal.
Setelah Sultan Alauddin menjadi Muslim, Islam pun ditahbiskan menjadi agama resmi kerajaan. Hal ini menimbulkan konsekuensi, kerajaan-kerajaan taklukan Gowa pun wajib memeluk Islam. Sementara, kerajaan-kerajaan yang tidak mau memeluk Islam dianggap tak mematuhi pesan Sultan Alauddin yang juga adalah kakek dari Sultan Hasanuddin.
Sebelum Islam masuk, para raja di Sulawesi Selatan pernah membuat perjanjian yang isinya, “Siapa yang menemukan suatu jalan yang lebih baik, berjanji untuk memberitahu kan tentang jalan itu kepada raja-raja lainnya”. Namun nyatanya, perjanjian itu cenderung disepelekan oleh raja-raja itu. Sultan Alauddin yang menjadikan Gowa sebagai pusat penyebaran Islam di wilayah timur nusantara ini terus mengembangkan Islam, baik secara damai maupun perang.
Beberapa kerajaan di daerah Bugis, seperti Bone, Wajo, Soppeng, Sidenreng, dan lainnya menolak keras ajakan Raja Gowa. Akibat penolakan itu, Raja Gowa terpaksa angkat senjata dan mengirim bala tentara ke daerah itu.
Pada 1608, beberapa pasukan gabungan Kerajaan Bugis itu mengalahkan Gowa, tetapi pada tahun berikutnya semuanya berhasil ditundukkan dan bersedia menerima Islam sebagai agama kerajaan. Sidenreng dan Soppeng pada 1609, Wajo pada 1610, dan Bone pada 1611. Perang Islam di tanah Bugis saat itu disebut Musu Assalengeng (Perang Islam). Penerimaan Islam oleh para raja itu kemudian diikuti masing-masing rakyatnya.
Saat Sultan Alauddin berkuasa, tak pelak Islamisasi terjadi besar-besaran di Sulawesi Selatan. Selain melalui gerakan penaklukan, Sultan Alauddin juga melakukan upaya lain untuk menyebarkan ajaran Islam di wilayah ini. Upaya itu adalah mendatangkan tiga ulama dari Sumatra, yakni Khatib Tunggal Abdul Makmur yang mendapat gelar Dato’ri Bandang, Khatib Sulaiman (Dato’ri Pattimang) yang ber perang besar dalam menyebarkan Islam di Kerajaan Luwu), dan Khatib Bungsu (Dato’ri Tiro) yang aktif menyebarkan Islam di daerah Bulukumba.
Pusat penyebaran Islam
Derap penyebaran Islam yang dijalankan Sultan Alauddin menjadikan Kerajaan Gowa sebagai motor penyebaran Islam. Pada masa itu, hampir seluruh kerajaan di Sulawesi Selatan memeluk agama Islam, kecuali Tana Toraja. Makassar pun menjadi pusat penyebaran Islam di nusantara bagian timur. Dari Makassar, agama Islam menyebar sampai Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Meski berjuang menyebarkan Islam, Sultan Alauddin dan beberapa raja penggantinya tak melarang umat Katolik untuk mendirikan gereja di Makassar. Kehadiran misionaris Katolik di Pelabuhan Makassar yang ramai dikunjungi para pedagang dari seluruh dunia pada waktu itu tidak ditolak. Gereja tua yang dibangun sejak Sultan Alauddin berkuasa masih bisa disaksikan hingga saat ini.
Sultan Alauddin wafat pada 15 Juni 1639. Ia diberi gelar “Tumenanga ri Gaukanna” atau yang mangkat dalam kebesaran ke kua saannya. Sedangkan, sumber lainnya menya takan, Sultan Alaud din di beri gelar “Tumenanga ri Agamana” atau yang mangkat dalam aga manya. berbagai sumber