Jumat 02 Aug 2019 15:15 WIB

PBB: Juli Samai Bulan Terpanas dalam Sejarah

Emisi gas rumah kaca menyebabkan pemanasan global.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Ani Nursalikah
Seorang anak mendinginkan diri di sebuah air mancur di Milan, Italia, Senin (24/6). Gelombang panas ekstrem mulai menerjang Eropa.
Foto: AP Photo/Antonio Calanni
Seorang anak mendinginkan diri di sebuah air mancur di Milan, Italia, Senin (24/6). Gelombang panas ekstrem mulai menerjang Eropa.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan Kamis (1/8), data terbaru dari Organisasi Meteorologi Dunia menunjukkan Juli setidaknya menyamai atau melampaui bulan terpanas dalam sejarah.

Kondisi pada Juli terjadi setelah Juni yang termasuk bulan terpanas. Kepala PBB mengatakan kepada wartawan ini lebih signifikan karena bulan terpanas sebelumnya, Juli 2016, terjadi selama El Nino yang tidak terjadi tahun ini.

Baca Juga

El Nino merupakan pemanasan alami lautan yang berinteraksi dengan atmosfer, sering menghangatkan dunia dan mengubah pola curah hujan serta suhu. Ini membuat beberapa tempat lebih basah dan beberapa tempat lebih kering.

Guterres mengatakan data cuaca terbaru, termasuk catatan suhu yang melanda dari New Delhi dan Anchorage ke Paris, Santiago, Adelaide, Australia dan Lingkaran Arktik. Artinya dunia berada pada jalur untuk periode 2015-2019 menjadi lima tahun terpanas pada catatan.

"Dan gunung es juga mencair dengan cepat," kata Guterres.

Es Laut Kutub Utara sudah mendekati rekor tingkat rendah. Gelombang panas Eropa bulan lalu telah meningkatkan suhu di Kutub Utara, dan Greenland sebesar 10 hingga 15 derajat Celsius. "Mencegah gangguan iklim yang tidak dapat dipulihkan adalah perlombaan hidup dan untuk kehidupan kita. Ini adalah perlombaan yang kami bisa dan harus menangkan," ucap Guterres.

Dalam upayanya menjaga perubahan iklim di puncak agenda global, sekretaris jenderal telah menyelenggarakan Youth Climate Summit pada 21 September. Ini akan diikuti oleh Climate Action Summit untuk para pemimpin dunia pada 23 September, sehari sebelum mereka pertemuan tahunan di Majelis Umum PBB.

Guterres mengatakan dia berharap menyambut para pemimpin muda, termasuk aktivis iklim Swedia berusia 16 tahun, Greta Thunberg. Perjanjian iklim Paris 2015 bertujuan menjaga suhu global agar tidak naik lebih dari 1,5 derajat Celsius (2,7 derajat Fahrenheit) pada akhir abad ini, dibandingkan dengan masa pra-industri untuk menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim. Guterres mengatakan target harus dipenuhi.

Dia mengatakan emisi gas rumah kaca, yang menyebabkan pemanasan global, harus dikurangi 45 persen pada 2030 dan dibutuhkan netralitas karbon pada 2050. Guterres mengungkapkan, perlu perubahan yang cepat dan mendalam dalam cara melakukan bisnis, menghasilkan tenaga, dan membangun sebuah kota.

"Banyak negara, dari Chili ke Finlandia dan dari Inggris ke Kepulauan Marshall memiliki rencana konkret dan kredibel untuk mencapai netralitas karbon pada pertengahan abad ini," kata Guterres.

"Dan banyak lainnya, dari Ethiopia ke Selandia Baru ke Fiji ke Pakistan menanam ratusan juta pohon untuk membalikkan deforestasi dan menghilangkan karbon dioksida dari atmosfer," ucapnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement