REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengusulkan pembentukan undang-undang yang mengatur pinjaman online atau kegiatan financial technology (fintech). Langkah ini sejalan untuk menghentikan kemunculan fintech secara ilegal yang selama ini telah meresahkan masyarakat.
Ketua Satuan Tugas Waspada Investasi Tongam L Tobing mengatakan maraknya kasus pinjaman online secara ilegal diperlukan penanganan khusus. Menurutnya, diperlukan undang-undang tersendiri sebagai naugan hukum fintech.
"Kalau kita lihat fintech ilegal tidak ada undang-undang yang mengatakan tindak pidana,” ujarnya saat acara Satgas Waspada Investasi bersama Bareskrim Polri di Ruang Humas Mabes Polri, Jakarta, Jumat (2/8).
Menurutnya, pihak berwajib tidak bisa menindak pihak-pihak yang membuat aplikasi fintech yang tersebar luas melalui aplikasi Google Playstore. Sebab, proses penagihan yang tidak beretika oleh fintech lending ilegal pun tidak masuk dalam kategori pidana.
"Kami mendorong agar segera ada peraturan mengenai undang-undang fintech, Kalau kita lihat fintech ilegal memang tidak ada undang-undang yang mengatakan itu tindak pidana," ucapnya.
Satuan Tugas Waspada Investasi bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah melakukan upaya pencegahan dengan memblokir setiap aplikasi fintech ilegal yang muncul dalam platform penyedia layanan aplikasi Google Playstore. Namun pihak lain bisa mengunggah aplikasi lain di saat yang bersamaan.
Bahkan Satuan Tugas Waspada Investasi telah melakukan komunikasi dengan Google agar tidak memberikan akses terhadap pembuat aplikasi fintech ilegal. Namun, pihak Google mengatakan hal tersebut sulit dilakukan.
"Kami sudah memanggil Google dan mereka mengatakan hal itu sulit karena mereka mendukung aplikasi dan sistem mereka open source,” ucapnya.
Sepanjang 2018, Satgas Waspada Investasi telah memblokir 1.230 aplikasi fintech lending ilegal di Google Playstore. Jika dirinci, sebanyak 404 entitas diblokir pada 2018 sedangkan pada tahun 2019 sebanyak 826 entitas.
Data ini termasuk tambahan penanganan yang dilakukan Satuan Tugas Waspada Investasi pada 16 Juli 2019 sebanyak 143 fintech peer to peer lending ilegal.
"Jadi kemajuan teknologi informasi memungkinkan orang buat situs baru. Di sisi lain satgas buat minitoring dan penghentian dini sehingga masyarakat terlindungi," ungkapnya.
Tongam mengakui kehadiran fintech merupakan inovasi keuangan baru yang dapat berkembang pesat seiring perubahan zaman. Namun, menjadi keresahan ialah ketika munculnya fintech ilegal yang sewaktu-waktu bisa menjadi bumerang bagi masyarakat.
Oleh karena itu, Tongam memandang perlu adanya undang-undang yang mengatur mengenai fintech. Nantinya di dalam aturan tersebut ditegaskan kegiatan fintech yang tidak berizin dan terdaftar di OJK akan masuk dalam tindak pidana.
"Itu inisiatif pemerintah dan DPR tentunya. Adanya undang-undang ini juga diharapkan dapat menutup celah kehadiran fintech-fintech bodong atau tidak berizin,” ungkapnya.
Tongam yang juga Direktur Dukungan Kebijakan dan Dukungan Penyidikan OJK menyatakan, OJK hanya berwenang mengawasi 113 perusahaan yang terdaftar. Sedangkan, ribuan fintech ilegal telah merugikan masyarakat.
“Kami ingin fintech yang melakukan kegitan tanpa izin dari otoritas berwenang dimasukkan sebagai tindak pidana,” ucapnya.
Sementara Kasubdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Kombes Pol Rickynaldo Chairul menambahkan secara perkembangannya ada beberapa kelompok yang masuk kategori tindak pidana terhadap fintech peer to peer lending. Di antaranya adalah, terkait dengan penyadapan data, penyebaran data pribadi, pengiriman gambar porno, pencemaran nama baik, ancaman, manipulasi data dan ilegal akses.
"Hal-hal itu bisa kita jerat di dalam pasal-pasal yang sudah terangkum dalam Undang-Undang ITE. Belum kita temukan pasal lain yang menjerat fintech ini," ucapnya.