OVO menduduki peringkat pertama dalam sebuah reserch Alphawise x Morgan Stanley bertajuk “Indonesia Banks: Fintech continues to lead digital payment market yang dipublikasikan Februari lalu.
"Ya, OVO dalam sebuah survei terhadap 655 pengguna e-money dan wallet digunakan oleh 73% pengguna, disusul Gopay 71%, Mandiri eCash 33%, T-Cash 33% dan ShopeePay 31%. Meski sempat dibawah Gopay, bergabungnya mitra mereka seperti Grab dan Tokopedia membuat kombinasi ekosistem Grup Lippo, ekosistem logistik Grab dan ekosistem ecommerce Tokopedia membuat awareness pengguna terhadap OVO kian besar," tulis Morgan Stanley dalam keterangannya, Jakarta, Jumat (2/8/2019).
OVO, setidaknya berdasarkan research tersebut, sudah “mengalahkan” 37 penerbit uang elektronik lainnya yang terdaftar di BI. Dari 38 pemain tersebut, sepanjang tahun 2018 lalu terjadi 2,9 miliar volume transaksi [total payment volume] dengan nilai mencapai Rp 47,2 triliun. Berdasarkan TPV tersebut, OVO masih menjadi pemain terbesar, sekitar 1 miliar transaksi.
Baca Juga: KPPU Teliti OVO Karena Monopoli Pembayaran Parkir Mall
Adalah John Riady, sosok dibalik dobrakan yang ditunjukkan OVO di pasar. Awalnya OVO hanya sebuah internal project yang dibangun awal tahun 2017 lalu, untuk menggabungkan berbagai source of data dari berbagai perusahaan di grup.
Dengan menyatukannya, perusahaan bisa memiliki profil 360 derajat konsumen. Belakangan dikembangkan point loyalty dan payment. Nah setelah menggandeng ekosistem di luar Lippo, efeknya OVO baru bisa tumbuh eksponensial.
Tahapan pengembangan selanjutnya dari OVO adalah mengubah data menjadi insight yang berarti bagi Grup Lippo. OVO nantinya akan digunakan untuk menawarkan produk KPA seharga Rp 800 juta, yang tentu masih perlu berkolaborasi dengan perbankan dan lain sebagainya untuk pembayaran cicilan.
Baca Juga: 58% Responden Gunakan OVO, LinkAja hanya 1%
Namun itu masih satu tahapan yang agak jauh, mengingat pengguna OVO saat ini mayoritas untuk hal-hal kecil seperti shopping di ecommerce, memesan makanan atau kopi. Kolaborasi menjadi paradigma utama dalam berbisnis ala John.
“Saya rasa kolaborasi satu perubahan di bisnis juga ya. Bahwa sekarang di bisnis itu sifatnya open ecosystem. Jadi kita gak bisa berpikir, oh kita bangun di situ cuma mau menerima atau hanya bisa dipakai ‘Grup Lippo’ saja, harus terbuka,” kata John saat diwawancara Redaksi Warta ekonomi awal Juli lalu.