REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPP PDIP, Andreas Hugo Pareria, mengatakan partainya menyambut baik usulan yang menyebut jatah kursi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebaiknya diberikan kepada parpolnya sebagai pemenang pemilu 2019. Namun, ia mengingatkan ada proses musyawarah mufakat untuk memilih pucuk pimpinan MPR.
"Ya kalau dari PDIP, tentu kami senang-senang saja kalau emang itu yang dikehendaki. Artinya memang lewat konvensi seperti itu," ujar Andreas dalam diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (3/8).
Akan tetapi, lanjut dia, Revisi UU Nomor 17 Tahun 2014 soal MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3) menyatakan aturannya tidak seperti itu. Andreas menuturkan pasal 427 ayat c Revisi UU MD3 tersebut mengungkapkan pemilihan pimpinan MPR dikembalikan seperti dulu.
"Artinya, itu berdasarkan paket dan proses pemilihannya lewat musyawarah mufakat. Tapi kalau tidak bisa ya kembali voting. Dan di sinilah ada ruang untuk politisi dan fraksi untuk melakukan lobi-lobi siapa yang kira-kira akan ada di posisi ketua MPR dan wakil ketua MPR nanti, " jelasnya.
Hal tersebut, kata Andreas, pernah terjadi pada PDIP. Pada 2014 lalu, PDIP juga menjadi parpol yang memenangkan pemilu.
"Namun, dalam voting (di MPR), PDIP kalah. Sehingga menurut saya, kita tetap harus memulai dengan musyawarah dulu untuk mufakat (dalam memilih ketua)," tambah Andreas.
Posisi ketua MPR kini tengah menjadi rebutan sejumlah parpol. Tidak hanya bagi parpol koalisi pengusung Jokowi, misalnya PKB, Golkar dan Nasdem, kursi pimpinan tertinggi MPR juga diinginkan oleh koalisi oposisi semisal Gerindra, PAN dan Partai Demokrat.
Politikus Nasdem, Effendy Choirie, mengusulkan jatah kursi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebaiknya diberikan kepada PDIP. Sebab, PDIP merupakan partai pemenang Pemilu 2019.
Berebut kursi ketua MPR RI.