REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta dan mengharap pemerintah Cina memberi kekebasan pada Muslim mengamalkan ajaran Islam di negara itu. Hal itu mengomentari upaya penghapusan simbol Islam dan Arab di Cina.
“Kami dari ormas Islam se-Indonesia minta ke pemerintah Cina, agar memberikan kebebasan ke umat Islam dalam mengamalkan ajaran agama Islam, seperti boleh berhaji, boleh salat di tempat umum, dan sebagainya,” kata Ketua MUI bidang Hubungan luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Muhyiddin Djunaidi kepada Republika, Sabtu (3/8).
MUI beranggapan pemerintah Cina harus memberikan ruang pada umat Islam di negara Tirai Bambu itu mengatur urusannya sendiri, tanpa embel-embel atau batasan. Muhyiddin mengatakan pemerintah Cina perlu memahami bahwa Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menjamin kebebasan beragama bagi setiap orang. Karena itu, agama tidak memiliki batasan geografis, serta bersifat universal.
Muhyiddin berharap pemerintah Cina tidak terus menerus menganggap simbol Islam dan Arab merupakan representasi radikalisme, sehingga meminta logo halal diganti bahasa lokal.
“Biarkan saja, itu kan bahasa agama,” ujar dia.
Kendati demikian, dia mengatakan MUI belum ada rencana menjalin komunikasi dengan Dubes Cina untuk Indonesia menyikapi permasalahan itu. Namun, dia memohon pemerintah Cina sadar akan kebebasan beragama.
Muhyiddin menilai Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan PBB perlu meminta penjelasan komprehensif, terkait isu penghapusan simbol Islam dan Arab di Cina. “Agar tidak terjadi kesalahpahaman, agar tak terjadi persekusi ke umat Islam,” kata dia.
Upaya menghapus tanda Islam dan Arab di Cina sudah terjadi sejak 2016, tetapi tidak pernah ada perubahan terkait masalah itu. Muhyiddin menjelaskan Cina memang memiliki konstitusi yang mengharuskan praktik agama dilakukan di ruang tertutup, tidak boleh di ruang terbuka.
“Dengan tanpa harus intervensi, kita minta ada kebebasan,” ujar dia.
Sebelumnya, pemerintahan Cina terus memerintahkan toko menghapus simbol Islam dan Arab sebagai identitas agama. Penghapusan simbol Islam dianggap sebagai tanda deskriminatif, ketika penganiayaan terhadap Muslim meningkat.
"Para pejabat di Beijing telah memerintahkan semua toko untuk menutupi tanda-tanda Arab atau simbol-simbol Islam, dalam fase terakhir dari tindakan keras pemerintah terhadap Muslim," sebut The Independent, Jumat (2/8) waktu setempat.
Semua identitas Islam di restoran, kafe, dan warung makan yang menyajikan produk halal telah dikunjungi pejabat pemerintah dalam beberapa pekan terakhir. Para pejabat ini menyuruh menghapus tidak hanya kata "halal" dalam bahasa Arab, tetapi juga gambar yang terkait dengan Islam, seperti bulan sabit. Kampanye melawan tanda-tanda yang terlihat dari identitas Islam dimulai pada 2016, sebagai upaya memastikan 20 juta Muslim Cina mengkonfirmasi lebih dekat terhadap arus utama budaya Cina.