REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pajak dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Boko menilai, pelaksanaan tax amnesty atau pengampunan pajak jilid II adalah hal yang sulit direalisasikan. Sebab, pemerintah tidak menyertakannya dalam program legislasi nasional (prolegnas). Kalaupun harus muncul, pemerintah harus menyiapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
Akan tetapi, Ronny pesimistis terhadap efektivitas tax amnesty jilid kedua apabila secara asumsi pemerintah memaksa untuk memberlakukannya. "Apa yakin, pengusaha dapat mengambil kesempatan tersebut," tuturnya ketika dihubungi Republika.co.id, Ahad (4/8).
Ronny menilai, kebijakan tax amnesty jilid kedua memiliki dampak positif dan negatif yang patut menjadi pertimbangan pemerintah. Selain membutuhkan tenaga tidak banyak dalam merancang Perpu, rencana itu berpotensi menimbulkan blunder pada pemerintah. Sebab, masa rancangannya cenderung terburu-buru sehingga sulit untuk melakukan pendalaman.
Di sisi lain, Ronny menambahkan, nilai positifnya adalah kemungkinan dapat menarik lebih banyak wajib pajak yang akan di-clearance. Tapi, pemerintah harus mempertimbangkan tingkat efektivitasnya mengingat banyak pengusaha yang melewatkan tax amnesty pertama.
Ronny menyebutkan, kehadiran Automatic Exchange of Information (AEoI) menjadi faktor utama pengusaha kembali meminta pemberlakuan tax amnesty. Melalui sistem tersebut, perusahaan yang selama ini membuat ‘cangkang’ atau menyembunyikan kekayaan akan terpantau oleh pemerintah. "Mereka takut, daripada ketahuan pemerintah, mendingan mereka (pengusaha) minta (tax amnesty) dulu," ujarnya.
AEoI merupakan pengiriman informasi tertentu mengenai wajib pajak pada waktu tertentu. Hal itu dilakukan secara periodik, sistematis dan berkesinambungan dari negara sumber penghasilan atau tempat menyimpan kekayaan kepada negara residen wajib pajak.
Dibandingkan menjalankan tax amnesty jilid kedua, Ronny menganjurkan pemerintah untuk fokus pada Revisi Undang-Undang Pajak Penghasilan (RUU PPh). Meski sulit direalisasikan pada masa legislatif saat ini, setidaknya revisi RUU PPh lebih terlihat realistis dibanding dengan harus melakukan pengampunan pajak kembali.
Ronny menjelaskan, poin yang patut menjadi prioritas adalah Pasal 17 yang menyebutkan penghitungan tarif pajak. Dari besaran lima persen, pemerintah sebaiknya menurunkan menjadi dua hingga tiga persen sehingga menjadi lebih menarik bagi pengusaha. "Sehingga industri kita juga ada daya saingnya, termasuk dengan Singapura," katanya.
Apabila ingin lebih ekstrem, Ronny menambahkan, pemerintah dapat menerapkan PPh final di tingkat dua atau tiga persen. Artinya, penerapan tarif pajak PPh ini tidak lagi membutuhkan pelaporan dari wajib pajak. Pasalnya, masih banyak orang Indonesia yang tidak menyimpan data dan merasa sulit melakukan pelaporan.
Sebelumnya, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roeslani mengatakan, Kadin menerima banyak aspirasi akan penyesalan banyak pengusaha yang tidak mengikuti pengampunan pajak pertama. Atas dasar itu, keinginan pengusaha Tanah Air cukup besar akan adanya pengampunan pajak kedua.